Selama tiga hari di rumah sakit saya tetap tidak bisa kentut. Tidak bisa pup. Berarti total tujuh hari. Perawat sudah mengusahakan memasukkan obat lunak ke lubang dubur. Dua kali. Tetap tidak berhasil. Hari berikutnya perawat memasukkan cairan tertentu ke dalam dubur. Sampai dua kali. Juga tidak berhasil.
Malamnya saya putuskan untuk meditasi. Menarik nafas panjang lewat hidung, menahannya di dada, dan menghembuskannya lewat mulut. Begitu terus sampai 99 kali. Sebanyak asma’ul husna. Sampai hitungan ke 40 saya kelelahan. Tapi saya teruskan. Obat sudah tidak bisa mengatasi.
Pada tarikan nafas ke-60 saya hampir jatuh tertidur. Saya paksakan sadar. Sampai akhirnya mencapai 99 kali.
Paginya saya bisa pup. Tidak sulit sama sekali. Juga tidak keras. Saya tidak tahu apa hubungannya dengan meditasi.
Saya pun minta pulang. Dokter mengizinkan. Dirawat istri saya di rumah. Anak-anak saya belum pulang.
Tajin terus diproduksi. Dimasukkan termos. Tiap dua jam saya teguk.
Robert Lai terus mendesak agar saya ke Singapura. Dia sudah atur dokter ahli pencernaan terbaik di sana. Sudah pula punya jadwal apa yang akan dilakukan untuk saya: begitu tiba akan dilakukan pemeriksaan, lalu keesokan harinya akan dilakukan pemeriksaan perut dengan cara memasukkan peralatan ke dalam perut. Dimasukkan dari tenggorokan dan dari dubur. Dari situ akan lebih jelas apa sebenarnya yang terjadi di dalam perut saya.
Yang seperti itu di Surabaya juga bisa.
Sejak keluar dari RS saya kembali tidak bisa kentut dan tidak bisa pup. Selama tiga hari lagi. Tajin terus melewati tenggorokan tapi perut terus sesak. Setelah tiga hari di rumah saya tidak tahan omelan. Akhirnya saya putuskan: ke Singapura. (*)