Bebatuan Meteorit Nggak Banyak Yang Punya

Sebagai langkah awal, di pembukaan Festival Geopark Belitung kemarin, Belitung dianugerahi plakat geopark nasional. Seusai festival yang bakal berlangsung hingga Minggu lusa (26/11) itu, Badan Pengelola Geopark Belitung bakal langsung bersiap mengajukan diri menjadi bagian Unesco Global Geoparks. ”November 2018 proposalnya kami kirim ke Unesco,” ucap Dyah.

Selanjutnya, Unesco langsung menilai Belitung. Sangat mungkin penilaian dilaksanakan April 2019. Lima bulan berikutnya, hasilnya diumumkan. ”Kalau lulus ya berarti masuk jaringan Unesco Global Geoparks. Dan itu akan memecahkan rekor dunia sebagai tempat yang tercepat terpilih sebagai geopark dunia,” imbuhnya.

Tapi, lanjut Dyah, yang terpenting sebenarnya bukan pengakuan dunia itu. Yang jauh lebih krusial adalah kian terbukanya kesadaran warga Bumi Laskar Pelangi bahwa pulau mereka punya banyak kekayaan lain di luar timah.

Jadi, mereka bisa hidup dari kekayaan alam yang tidak merusak, tidak pula mendatangkan bencana. ”Lingkungan yang indah terkonservasi, generasi muda bisa menjadi penjaga pulaunya. Bisa menciptakan sustainable tourism, green tourism,” tutur Dyah.

Timah memang telah menjadi napas Belitung selama ini. Tapi, dampaknya, mereka jadi sangat bergantung pada hasil tambang tersebut. Padahal, sudah tidak terhitung lubang bekas galian timah di tempat mereka tinggal. ”Sementara jumlah sisa galian timah terus bertambah, masyarakat tetap begitu-begitu saja,” katanya.

Yang terjadi di Terong bisa menjadi contoh, asal mau berubah, banyak potensi yang dapat digali. Lingkungan terselamatkan dan sumber pendapatan baru didapatkan. ”Kami belajar dari Pak Dahlan (Iskan). Kalau mau bikin sesuatu, jangan nunggu ada uang,” tutur Dyah. (*/c9/ttg/rie)

Tinggalkan Balasan