Buruh Tolak Revisi Perda Ketenagakerjaan

jabarekspres.com, NGAMPRAH – Penolakan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai belum berpihak kepada buruh.

Penolakan yang dilakukan dengan aksi Unjuk rasa tersebut, ditunjukkan sejumlah buruh dari sembilan serikat pekerja di depan Kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat yang berlokasi di Jalan Raya Tagog, Padalarang pada Senin (16/10).

Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional KBB Budiman memandang, revisi Perda No 1/2010 tersebut dinilai masih belum bisa melindungi dan memberikan hak-hak pekerja.

“Kami menolak jika direvisi secara keseluruhan pada Perda tersebut. Sebab revisi itu hanya menambah atau menyisipkan hal-hal yang perlu saja, sementara tidak ada keuntungan bagi para buruh,” ujar Budiman di sela unjukrasa.

Budiman menambahkan, buruh mengajukan 10 pasal untuk dimasukkan dalam revisi perda tersebut. Di antaranya, pasal yang berkaitan dengan penetapan upah, jaminan tenaga kerja, ketentuan tenaga kerja waktu tertentu, ketentuan asosiasi pengusaha, hingga perlindungan tenaga kerja perempuan.

Untuk soal penetapan upah misalnya, buruh meminta agar pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun dibayar di atas upah minimum kabupaten, sekurang-kurangnya 5 persen.

Hal itu mengacu pada Permenaker No 1 Tahun 2017 tentang Skala Upah, di mana pekerja yang telah bekerja di atas 1 tahun berhak mendapatkan upah lebih dari UMK.

“Untuk soal jaminan tenaga kerja, perlu melihat UU Jamsostek dan UU BPJS. Sementara Pemda belum mengakselerasi UU BPJS. Padahal, di situ ada jaminan pensiun selain jaminan hari tua, JKK, dan JKM,” katanya.

Buruh juga mengkritisi soal aturan perjanjian kerja paruh waktu (PKWT) dan tenaga alih daya (outsourcing). Sebab dalam revisi perda versi pemerintah, aturan mengenai hal itu belum jelas. Budiman juga mengungkapkan, buruh menolak adanya asosisasi pengusaha tunggal, yakni Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sebab, asosiasi tersebut tidak mencakup semua sektor perusahaan di KBB.

Sementara itu, soal perlindungan perempuan, buruh juga meminta hak-hak perempuan, seperti fasilitas menyusui dan penyesuaian jam kerja juga diberikan. Hal ini mengacu pada konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 183 Tahun 2000.

Budiman menambahkan, pemerintah juga harus memberikan efek jera bagi para pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan. Sebab selama ini, pengawasan dan penindakan terhadap pengusaha yang melanggar masih jauh dari harapan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan