Mama Tanio, seperti juga warga Polahi lain, tak mempermasalahkan poligami dan inses itu. Yang jadi masalah, saat Baba Manio kawin dengan Loonunga. Bakiki Mani tidak terima dan melarikan diri dari kelompok. ”Baba Manio itu ganteng,” kata Mama Tanio malu-malu. Dari pernikahan itu, lahirlah Babuta dan Lahiya.
Malam terus beranjak larut. Keramaian di rumah Babuta berakhir. Satu per satu warga yang berkumpul pulang.
Paginya, semua warga Polahi sudah sibuk masing-masing. Babuta dan Anio pergi ke Sungai Humuholo dengan jalan kaki sekitar setengah jam untuk menambang emas secara tradisional. Karpet dijajar di aliran air yang deras.
Pasir hitam mengandung butiran emas biasanya akan menempel. Dalam sebulan dia bisa mendapatkan Rp 7 juta. ”Kami menambang di sungai saja karena ini ramah lingkungan. Kalau warga kampung itu menambang di hutan merusak lingkungan,” kata Babuta.
Uang itulah yang membuat mereka tetap terkoneksi dengan dunia luar. Belakangan, dunia luar juga kian sering menyapa mereka. Entah itu warga luar Gorontalo atau luar negeri seperti dari Jerman dan Jepang.
Warga Polahi menyambut semua tamu tersebut dengan ramah. Tak pernah ada pertentangan. Karena toh mereka, dengan segala pilihan hidup yang mereka yakini, tak pernah merasa diusik. (*/c10/ttg/rie)