Selain tradisi inses, sehari-hari suku Polahi mengakrabi sepeda motor, televisi, DVD, radio, dan genset. Memilih menambang emas di sungai karena tak rusak lingkungan.
JUNEKA S MUFID, Gorontalo
KERAMAIAN itu berada di sungai belakang perkampungan. Warga Polahi berkumpul di sana. Bukan untuk mencuci baju atau mandi. Tapi…sepeda motor.
Ya, nun di pedalaman Hutan Humuholo, Gorontalo yang harus dicapai selama enam jam berjalan kaki melewati empat sungai besar berbatu, jalan licin terjal, dan rerimbunan semak belukar, ada Honda Revo hitam.
Milik sang kepala suku, Babuta. Bagaimana bisa motor itu sampai kemari kalau untuk berjalan saja jalurnya demikian berat?
”Ada jalur lain memutar. Tapi, lebih jauh,” kata Babuta kepada Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) yang ditemani pemandu Haris Antu dan wartawan Gorontalo Post (Jawa Pos Group) Gusran Ismail pada Kamis siang (20/7).
Sepeda motor bukan satu-satunya ”barang modern” yang telah hadir di tengah-tengah suku Polahi. Sehari-hari mereka sudah terbiasa dengan ponsel, televisi, DVD, radio, dan genset.
Menurut Babuta, radio bahkan sudah ada sejak zaman Baba Manio, ayahnya yang juga kepala suku sebelumnya, masih hidup. Ponsel hadir berikutnya untuk berkomunikasi dengan penambang yang butuh jasa kijang. Kijang adalah sebutan untuk warga Polahi yang disewa penambang sebagai pembawa barang.
Daya baterai ponsel diisi ulang dengan batu baterai. Caranya, empat baterai disusun paralel, lantas kabel charge yang telah dipotong itu ditempelkan di kutub positif dan negatif.
Perjumpaan dengan para penambang emas memang seolah menjadi pintu gerbang suku Polahi dengan dunia luar. Hasan, salah seorang penambang yang kami temui dalam perjalanan menuju Kampung Polahi, mengatakan bahwa fisik orang Polahi kuat. Bisa berjalan cepat.
”Kuat naik tanjakan. Lajunya cepat. Khususnya yang perempuan,” tutur pria yang sudah lima tahun jadi penambang emas itu.
Biasanya Hasan meminta orang Polahi membawa 20 kilogram beras dengan tarif Rp 100 ribu sampai tujuan. Sedangkan untuk bahan lainnya seperti rempah-rempah dan kecap, biaya angkutnya Rp 50 ribu. Perjalanan dari kampung ke tempat tambang itu ditempuh sehari penuh. ”Kalau orang Polahi setengah hari saja sudah sampai,” kata Hasan.