jabarekspres.com, JAKARTA – Kemendikbud resmi merilis Peraturan Menteri (Permendikbud) nomor 23 tahun 2017, kemarin (13/6). Dengan dikeluarkannya Permendikbud ini, maka kebijakan sekolah selama 5 x 8 jam seminggu telah resmi berlaku.
Dalam permen, disebutkan bahwa hari sekolah berlangsung selama 8 jam sehari selama lima hari dalam seminggu. Atau jika ditotal adalah 40 jam seminggu. Dalam durasi sepanjang itu, peserta didik hanya diberi kesempatan beristirahat selama setengah jam atau 2,5 jam selama seminggu. Namun, sekolah diperbolehkan untuk menambah waktu istirahat sesuai kebutuhan.
Pro kontra kebijakan sekolah 5 x 8 jam ini masih terus berdatangan. Mitra Kemendikbud di Komisi X DPR sendiri belum satu suara. Sebagian anggota meminta kebijakan dibatalkan. Sementara lainnya, mengusulkan agar kebijakan 8 jam belajar di sekolah diberlakukan opsional. Artinya, tidak diwajibkan.
Anggota Komisi X Arzetty Bilbina menuturkan, banyak kekhawatiran yang muncul atas diberlakukannya kebijakan ini.
Paling utama adalah hilangnya waktu anak untuk bertemu dengan orang tua. ”Karena tidak semua orang tua kerja kantoran kan. Ada juga yang full sebagai ibu rumah tangga,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Mendikbud di DPR kemarin.
Selain itu, kebijakan ini akan membatasi anak untuk bisa menempuh pendidikan non formal. Seperti kegiatan keagamaan di diniyah. Padahal, biasanya usai pulang sekolah mereka akan mengaji di diniyah. ”Oleh karenanya, pak. Mohon dipertimbangkan lagi,” katanya.
Berbeda dengan Arzetty, Wakil Ketua Komisi X Ferdiansyah meminta kebijakan ini dijadikan opsional. Tidak berlaku wajib bagi seluruh sekolah di Indonesia. Sebab, masih banyak sekolah yang melakukan kegiatan belajar mengajarnya secara bergantian/shift pagi-siang. ”Bagi yang sudah siap jalan. Yang belum jangan dipaksakan,” ujarnya.
Suara juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menegaskan kebijakan full day school (FDS) lima hari itu tidak bisa begitu saja diputuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Sebab, melibatkan nasib tak kurang 50 juta siswa mulai dari SD, SMP, dan SMA. Keputusan tersebut harus melibatkan Presiden Joko Widodo.