Beratnya tantangan untuk menghadang berita palsu membuat media harus berkolaborasi. Bukan hanya antarmedia di dalam satu negara, tapi juga media berbagai negara. ”Sebab, isu berita palsu sudah menyebar lintas negara,” ujar Joon-Nie Lau, vice president Singapore Press Club.
Dia mencontohkan berita adanya seorang warga negara Singapura yang dimakan buaya di salah satu wilayah Amerika Serikat (AS) yang sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial selama berhari-hari. Padahal, berita itu tidak benar. ”Kalau ada kerja sama dengan media di sana (AS), media di Singapura bisa lebih cepat memberikan klarifikasi melalui fact checking (pengecekan fakta),” ucapnya.
Menurut Joon-Nie, kerja sama antarmedia untuk memerangi berita palsu harus menjadi prioritas. Namun, dia mengakui bahwa kerja sama secara internasional butuh waktu. Sebab, harus ada standard operating procedure (SOP) untuk penanganan berita palsu. Karena itu, setidaknya kerja sama tersebut bisa dimulai di lingkup yang lebih kecil. ”Kita bisa menyiapkan Asian connection. Jadi, media-media di Asia bekerja sama menyediakan fact checking untuk pembaca,” jelasnya.
Pada sesi pagi, Hin-Tung dan Gan juga berbicara pada diskusi bertema Rebuilding Trust in News (Membangun Kembali Kepercayaan pada Berita). Sesi itu menghadirkan CEO Tempo Bambang Harymurti dan Editorial Director New York Times Global Jodi Rudoren. Jodi yang sedang berada di Mexico City berbicara melalui perangkat konferensi jarak jauh.
Pada sesi tersebut, Hin-tung mengungkapkan bahwa tidak ada model bisnis yang baku dalam usaha media. ’’Bagi kami, model bisnis itu cuma satu. Kredibilitas,’’ tegas Hin-tung. Dan, kredibilitas media itulah yang akhirnya mendatangkan konsumen yang ujungnya menjadi penghidupan pelaku industri media.
Selain itu, sambung Bambang Harymurti, ada ancaman digital yang terus mengintai dunia jurnalistik. Ancaman digital tersebut tidak diartikan sebagai hadirnya berita daring (online) yang mengancam media cetak. Ancaman itu hadir dalam bentuk serangan siber (cyber attack), serangan armada siber (buzzer attack), dan ideologi serta budaya yang menghadirkan fakta alternatif. ’’Jadi, kalau ada bad guy yang kaya tidak sepakat dengan isi berita, mereka tinggal bayar orang untuk menyerang media secara digital,’’ ujarnya.