”Sebagai pemain ketika mengalami kekalahan rasanya tidak terlalu memberatkan pikiran, dikritik iya. Tapi tidak berlarut dan terlupakan dengan pertandingan selanjutnya. Tapi sebagai pelatih, ketika kalah dan tidak bisa bawa juara. Itu mendapat hujatan dari berbagai penjuru. Jujur itu menjadi beban apalagi bawa nama Persib,” ungkapnya.
Kegagalan tidak membuat legenda Persib ini putus asa. Apalagi di musim berikutnya, ia masih dipercaya untuk meneruskannya. Pelatih yang kini tengah menekuni Kursus Kepelatihan di Thailand guna mendapatkan lisensi A AFC ini kembali didaulat menjadi sang arsitek tim kebanggaan bobotoh. Ia mengaku berupaya keras dengan segala daya dan upaya untuk membawa kembali gelar juara pada musim keenam ini setelah 19 tahun tak kunjung diraih.
”Sempat ganti-ganti pelatih, bahkan tidak sedikit pelatih asing mendarat di Persib. Tapi Alhamdulillah saya yang kebagian rizki membawa Persib jadi juara liga 2014. Segala daya dan upaya saya kerjakan untuk bawa Persib juara. Banyak halangan dan rintangan. Tekanan dari sana sini. Tapi Alhamdulillah membuahkan hasil,” jelasnya.
Memasuki tahun 2015, hal tak mengenakkan menimpa sepakbola Indonesia. Konflik berkepanjangan membuat Indonesia disanksi FIFA dan seluruh kompetisi terhenti.
Sebagai pengisi kekosongan kompetisi, dibentuklah beberapa turnamen sepakbola di Indonesia dan salah satu yang mengawalinya adalah Piala Presiden. Di turnamen tersebut, satu trofi kembali disumbangkan Djanur bagi Pangeran Biru setelah berhasil menundukkan perlawanan Sriwijaya FC dengan skor 2-0 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.(sib/ign)