”Kita atur pinjam ruang ujian ini di sekolah yang masih radius 5 km dari sekolah asal,” kata Erika. Sekolah tidak boleh memaksakan melaksanakan UNBK. Apalagi sampai memungut biaya pembelian unit komputer dari siswa.
Bagaimana dengan sekolah terpencil? Kembali pakai kertas. Naskah ujian akan dicetak di wilayah terdekat. Pencetakan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan mepet dengan pelaksanaan ujian. Hal itu ditujukan untuk mencegah kebocoran. ”Kalau bisa beberapa hari sebelum ujian diselenggarakan,” katanya.
Pelaksanaan UNBK secara penuh akan menghemat uang negara untuk ongkos penggandaan sampai distribusi soal ujian. Ujian berbasis komputer juga mampu menekan potensi kecurangan.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai, pelaksanaan ujian dengan menumpang ke sekolah lain bukan hal yang sederhana. Selama ini memang ada sekolah yang menumpang. Tapi, jumlahnya sedikit. Yaitu, sekolah yang belum memiliki akreditasi.
Sekolah dengan jumlah siswa yang besar, sedangkan unit komputernya terbatas, pasti kewalahan melayani UNBK untuk murid sendiri. Apalagi jika harus melayani peserta unas dari sekolah lain.
Jumlah SMP jauh lebih banyak daripada SMA maupun SMK. Jadi, yang banyak numpang ujian adalah siswa SMP.
Retno setuju bahwa UNBK bisa menekan kecurangan. Namun, UNBK belum bisa menghapus kebocoran soal ujian. Siswa yang mengikuti ujian pada sif awal berpotensi membocorkan soal kepada peserta sif berikutnya. ‘”Meski yang bocor satu, dua, atau sepuluh soal, tetap terjadi kebocoran,”’ tegasnya. (wan/c5/ca/rie)