Michael Leksodimulyo, Dokter yang Mengabdi untuk Gelandangan

Ceritanya terjadi tiga tahun silam. Kala itu dia mendengar azan salat Jumat berkumandang. Namun, orang-orang di sana tidak mengacuhkannya. Dia pun bertanya kepada mereka. Ternyata, mereka mengatakan bahwa tidak ada musala jadi alasannya. ”Lalu, saya tanya, seandainya ada musala di sini, apa mereka mau salat?” tanyanya kala itu.

Mendengar pertanyaan tersebut, Michael dipandang sinis. Warga yang kebanyakan memulung sampah itu tidak percaya ada orang yang mau membangun musala di sana. Akhirnya Michael punya ide. Dia menyuruh 10 orang di sana untuk mengumpulkan kayu, seng, dan tripleks seadanya. Mereka lalu diminta menuliskan namanya di material yang dibawa tersebut.

Akhirnya secara gotong royong, mereka mulai membangun musala seadanya. Meski reyot, tapi ada satu hal yang membuat mereka rajin salat di sana. ”Orang-orang itu merasa memiliki tempat ibadahnya. Karena di situ ada nama mereka,” ujar pria yang kini menduduki jabatan head of division community health donor management external communication and development di Yayasan Pondok Kasih tersebut.

Setelah musala ala kadarnya itu berdiri, Michael tetap memanggil tukang untuk membangunnya lebih layak. Dananya diambil dari donatur yayasan.

Mendirikan tempat ibadah bagi orang lain menjadi salah satu contoh kecil yang dilakoni Michael bagi orang-orang di sekelilingnya. Sebagai dokter senior, dia berharap jejaknya diikuti anak-anak yang lebih muda darinya.

”Kita harus ingat kepada siapa dokter itu mengabdi. Intinya selalu sadar bahwa Tuhan menciptakan kita juga untuk membantu sesama,” jelas pria yang mengidolakan Soekarno tersebut. (*/c7/dos/rie)

Tinggalkan Balasan