Michael Leksodimulyo, Dokter yang Mengabdi untuk Gelandangan

Nama Michael Leksodimulyo sudah menggaung di dunia. World Health Organization (WHO) mengakui pengabdiannya terhadap masyarakat miskin. Dia tidak segan terjun langsung menolong orang-orang tak mampu, tanpa memandang suku, ras, maupun agama.

 DIDA TENOLA, Surabaya

TERIK matahari yang menyengat kulit tidak mengurangi semangat Michael untuk mengunjungi gubuk-gubuk kumuh yang terletak di kawasan Keputih, Surabaya. Bau tumpukan sampah yang menyengat juga sudah menjadi hal biasa bagi dia. Jari-jarinya begitu lincah menggerakkan stetoskop ke bagian dada seorang pasien renta. Kedua tangannya kemudian memegang mulut pasien untuk memeriksa tenggorokan. Michael Leksodimulyo melakukannya sepenuh hati, tanpa pamrih dan tidak mengharap bayaran.

Ya, bisa memberikan pelayanan kesehatan adalah panggilan hati yang memang tertancap sejak dirinya tidak punya apa-apa. Lahir 6 Januari 1968, sulung di antara tiga bersaudara itu nyaris tidak punya masa depan saat usaha orang tuanya bangkrut. Bagaimana tidak, dagangan sepatu yang selama ini menjadi gantungan hidup ludes. ”Semuanya hangus saat Pasar Turi terbakar pada 1980-an,” ceritanya.

Waktu itu Michael masih kelas III SMA. Dia sudah hampir putus asa. Namun, di dalam hatinya tebersit suatu cita-cita. Dia melihat orang-orang sekelilingnya tidak punya biaya saat berobat. Dari sana, dia mulai berpikir untuk menjadi dokter.

Dalam doanya, dia mengucap janji kepada Tuhan. ”Kalau jadi dokter, saya akan mengabdikan mulai dari ujung rambut sampai kaki ini untuk orang-orang tak mampu,” sebut Michael yang mengenang mimpinya.

Ayah tiga anak tersebut sadar bahwa orang tuanya kala itu tidak punya biaya. Dia pun berusaha keras untuk mencari beasiswa sana-sini. Dengan ketekunan dan kegigihannya, cita-cita Michael akhirnya tercapai di Manado. Dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Selama menjadi mahasiswa, dia dibiayai penuh oleh negara.

Setelah lulus, dia menghabiskan waktunya di pedalaman Kalimantan Timur. Kala itu dia melihat rekan-rekannya yang baru lulus tidak mau ditempatkan di daerah terpencil. Merasa punya janji kepada Tuhan, Michael berani meminta ditugaskan di sana selama tiga tahun.

Ketika itu dia menjadi satu-satunya dokter di Berau. Dia harus menemui masyarakat di 32 kecamatan. Jangan bayangkan dulu sudah ada jalan aspal. Mobilitas dokter kala itu tidak segampang sekarang. ”Saya blusukan ke hutan-hutan dengan naik rakit. Memang banyak sungai di sana,” imbuh alumnus SMAK St Louis 1 tersebut.

Tinggalkan Balasan