Sementara itu, dampak negatifnya adalah hasil ujian sekolah, tanpa ada unas, bakal beragam. Sebab saat ini kemampuan guru masih beragam sekali. Mulai dari guru yang kurang menguasai materi sampai yang mahir. Ini terlihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) yang nilai rata-ratanya masih sekitar 50 poin.
Dampak negatif berikutnya adalah, moratorium unas berpotensi menyurutkan semangat sekolah menerapkan pembelajaran berbasis IT. Dia menuturkan dalam unas 2016 jumlah sekolah yang menyelenggarakan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) begitu banyak. ’’Ketika tidak ada unas, saya harap sekolah tetap mengedepankan pemanfaatan IT,’’ jelasnya.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Lisyarti setuju dengan keputusan moratorium unas itu. ’’Ini artinya pemerintah patuh terhadap putusan pengadilan dan menghargai hukum,’’ jelasnya.
Sebab di dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan unas 2009 lalu, pemerintah dituntut untuk mendahulukan peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses informasi yang lengkap ke seluruh Indonesia. Baru setelah itu pemerintah bisa menjalankan unas.
’’Moratorium ini juga telah memenuhi rasa keadilan masyarakat,’’ tuturnya. Selama ini siswa di sekolah yang minim standar pendidikannya, dipaksa untuk mengikuti ujian berstandar nasional.
Plt Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi juga menyambut baik kebijakan moratorium unas itu. Sebab selama ini fungsi unas tidak jelas. Unas semata hanya ujian terkait kelulusan siswa.
Dia berharap, Kemendikbud segera membuat acuan ujian akhir sekolah yang baik. Sehingga hasil ujian ini tidak jomplang antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengejar standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat. (wan/rie)