Diungkapkan Bawit, besaran UMK untuk Kabupaten Bandung Barat di 2017 ditetapkan sebesar Rp 2.468.289. Padahal nilai UMK yang telah direkomendasikan oleh bupati sebesar Rp 2.520,505. ”Dengan keputusan itu tentu kami sangat kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang telah direkomendasikan Bupati sebelumnya sebesar Rp 2.520,505 atau naik 10 persen, tapi oleh gubernur dikembalikan ke PP 78 lagi, jadi nilainya lebih kecil,” kata Bawit.
Dengan penetapan nilai UMK tersebut, dirinya menilai bahwa pemerintah tidak ada keberpihakan sama sekali terhadap para buruh. Padahal jika mengacu kepada Undang-Undang Dasar, para buruh berhak mendapatkan penghidupan yang layak.
”Hak-hak berunding tidak ada, hak kesejahteraan tidak ada, mereka yang menetapkan semua, mereka yang menentukan nilainya semua, nilai kelayakan bagi buruh harusnya ada,” terangnya.
Terkait hal itu, saat ini pihaknya masih melakukan koordinasi dengan Aliansi Buruh Jawa Barat (ABJ) terkait langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Berdasarkan hasil rapat terakhir, jika hasil penetapan nilai UMK tidak sesuai, maka pihaknya akan melakukan gugatan atas Surat Keputusan (SK) yang telah dikeluarkan gubernur kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). ”Kami akan gugat hasil keputusan gubernur tersebut ke PTUN,” tegasnya.
Menurut Bawit, idealnya kenaikan nilai UMK 2017 di KBB, sebesar Rp 684.000 yang mengacu pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang telah dilakukan oleh serikat pekerja. Hal itu didasarkan pada survei yang dilakukan oleh 7 serikat pekerja di KBB di tiga pasar, yakni pasar Lembang, Batujajar dan Padalarang, untuk masing-masing nilai KHL didapat, pasar Lembang sebesar Rp 2.971.926 Padalarang sebesar Rp 2.991.152, dan Batujajar sebesar Rp 2.931.136. Dari ketiganya dirata-ratakan nilai KHL menjadi sebesar Rp 2.964.738 atau nilai UMK-nya naik sebesar Rp 684.000. (yul/drx/yan)