Informasi yang diterima Jawa Pos di lingkungan KONI Jatim, untuk ngebon atlet berpretasi nasional harus tersedia dana sekitar Rp 500 juta per atlet. Jumlah itu belum termasuk biaya bulanan yang diberikan kepada atlet impor tersebut.
Setidaknya sekitar, Rp.12-15 juta dibutuhkan untuk menjalankan program latihan. ”Jadi harapannya dengan biaya yang lebih sedikit ketimbang pembinaan atlet lokal, kami menargetkan besar buat atlet tersebut,” kata Dhimam Abror, selaku badan pelaksana puslatda KONI Jatim, menjelaskan kalkulasinya
Sedangkan untuk membina atlet lokal, Abror menyebutkan kebutuhan dana sekitar Rp 7-9 juta setiap bulannya. Jumlah tersebut sepenuhnya untuk kebutuhan latihan dan vitamin atlet.
Sementara itu, Ketua kontingen DKI Jakarta Djumhuron enggan menyebut angka pasti untuk mendatangkan atlet impor seperti I Gede Siman Sudartawa. Menurutnya, langkah yang diambil Jakarta tidak berbeda jauh dengan kontingen lain.”Yang penting sesuai prosedur, bukan ilegal,” katanya.
Sedangkan Ketua Pembinaan dan Prestasi KONI Sulsel, Nukhrawi Nawir menilai perpindahan atlet berpretasi tak perlu dimasalahkan. Dia beralasan, jika memang sudah berdomisili dan bekerja di luar provinsi bagaimana lagi.
Pada PON Jabar, diakui Nawir, banyak atlet Sulsel yang ikut memperkuat kontingen lain. Sebut saja atlet cabang olahraga (cabor) dayung Jawa Timur yang diperkuat Mahendra Yanto. Sementara cabor renang, ada Muhammad Hamgari yang kerap menjadi andalan Sulsel di sejumlah kejurnas juga hengkang ke Jatim.
Menurut Nawir, wajar jika para atlet memperkuat provinsi lain, termasuk Jawa Timur, yang pernah ”menampung” banyak atlet Sulsel di era 90-an itu.
Meskipun sebagian provinsi menganggap wajar, ketergantungan kepada atlet bon-bonan bukan berarti tak bisa dihilangkan. Wakil Ketua IV KONI Kaltim Rusdiansyah Aras menyebut bahwa saat ini Kaltim sedang mengurangi candu menggunakan atlet luar daerah dan memberi kesempatan kepada putra daerah.
”Di PON Jawa Barat ini Kaltim tidak memakai jasa atlet mutasi. Sebagian memang ada atlet mutasi, tapi rata-rata adalah atlet yang sudah membela Kaltim sejak PON 2008,” imbuhnya kepada Kaltim Post kemarin.
Sekadar informasi, saat ini kekuatan Kaltim memang tidak bertumpu pada atlet mutasi. Bahkan di cabor gulat yang menjadi andalan Kaltim selama ini, 100 persen merupakan produk lokal. Artinya, meski tren bonbonan tengah menjadi isu hangat, Kaltim menegaskan lebih fokus membina putra daerah. “Saat ini atlet kita yang banyak dibajak daerah lain, artinya pembinaan di Kaltim lebih baik dari daerah lain,” tegas Rusdi. (tim JPG/kim)