Ramai-Ramai Potong Kompas Memburu Emas
PON seharusnya etalase hasil pembinaan atlet di daerah. Bukan malah asal comot atlet berprestasi nasional dan mengiming-imingi bonus ratusan juta rupiah hanya untuk mendulang medali emas semata.
—
Mengharumkan nama daerah tentu misi mulia. Namun, jika dilakukan dengan segala cara tentu membuat gerah. Tak sabar dengan proses menemukan bibit atlet dan membinanya, banyak pemerintah provinsi memilih potong kompas dengan “membeli jadi” atlet nasional untuk mendulang pundi-pundi emas dari cabor lumbung medali.
Fenomena yang populer disebut bon-bonan itu ditemukan pada perjalanan karir beberapa atlet nasional. Di antaranya adalah I Gede Siman Sudartawa, perenang andalan Indonesia di nomor gaya punggung putra yang di PON XIX 2016 membela kontingen DKI Jakarta.
Begitu juga dengan yang dialami putra kebanggan Lampung, Eko Yuli Irawan, yang saat ini menjadi bagian dari kontingen PON Jawa Timur setelah sebelumnya membela panji-panji Kalimantan Timur. Dua atlet tenis Aldila Sutjiadi dan Vonny Darlina memilih boyongan ke Jatim, setelah mengundurkan diri dari kontingan DKI Jakarta. Sedangkan mantan atlet tenis meja nasional, Lingling Agustin, pada PON XIX Jabar 2016 ini mewakili Povinsi Papua.
Kepada Jawa Pos (Jabar Ekspres Group), Lingling Agustin mengungkapkan, Pemprov Papua bersedia meneken kontrak Rp 250 juta agar dirinya memperkuat kontingan di PON Jabar. ”Kontrak tersebut tidak dengan syarat. Dapat medali atau tidak, saya tetap dibayar Rp 250 juta,” ungkapnya.
Lain kontrak, lain lagi uang saku dan bonus. Lingling membeberkan tahun ini uang saku untuk satu atlet Rp 30 juta per orang. ”Kalau berhasil meraih emas, bonusnya Rp 1 miliar,” tambahnya.
Angka miliaran rupiah kabarnya memang menjadi harga pasaran baru untuk transfer atlet di PON Jabar. Harga yang sama juga terjadi pada transfer Eko Yuli Irawan dari Kaltim ke Jatim dan perpindahan perenang I Gede Siman Sudartawa dari Riau ke DKI Jakarta.
Benarkan demikian? Alamsyah Wijaya, Kabid Angkat besi PB PABBSI mengatakan, soal harga itu sangat relatif. Komitmen atlet dengan KONI yang bersangkutan memang menentukan besaran nominal kompensasi yang didapatkan.