Sudah sekitar lima bulan ini saya aktif mengunggah video-video di YouTube. Ini semua diawali dengan kegerahan saya melihat vlog-vlog yang sedang ngetren zaman sekarang. Rata-rata isi vlog itu sekadar nongkrong-nongkrong bareng teman sambil sesekali mengeluarkan kata kasar.
Kenapa saya bisa gerah? Karena yang menggandrungi video ini banyak. Rata-rata anak usia belasan tahun yang sedang mencari jati diri dan sedang labil-labilnya. Ditakutkan, setelah menonton vlog tersebut, mereka bakal ikut-ikutan dan terbiasa mengucapkan kata-kata kasar. Parahnya lagi kalau mereka juga punya anggapan bahwa nongkrong di kelab dan party all night long itu indikator dari tingkat kegaulan. Alhasil, mereka akan merongrong orang tuanya untuk menyediakan kehidupan hedon ala role model-nya.
Sampai pada suatu hari, salah satu teman saya bilang, ”Hal yang kayak gitu harus kita perangi dengan karya.” Saya sangat setuju. Memang tidak akan ada habisnya kalau kita hanya mengeluh tentang bagaimana buruknya video-video tersebut.
Maka dari itu, saya memutuskan untuk ikut andil dalam fenomena vlogging ini. Saya mau remaja-remaja ini paling tidak memiliki pilihan. Mereka bisa memilih video apa yang ingin mereka tonton dan tidak hanya dicekoki video yang tidak mendidik. Karena pada akhirnya penonton memiliki hak untuk diberi konten yang bermanfaat.
Setelah beberapa bulan aktif mengeluarkan konten-konten menarik dan berinteraksi dengan penonton YouTube di Indonesia, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Bukan cuma pembuat kontennya yang menghasilkan vlog-vlog kurang mendidik. Ternyata banyak juga penonton yang juga kurang siap untuk diberi konten yang inspiratif dan bermanfaat.
Orang-orang di internet lebih suka fokus ke hal-hal yang tidak perlu. Bisa dibilang, konten video saya tidak kosong-kosong amat. Ada satu dua hal positif yang saya tawarkan lewat video saya. Tapi, tidak jarang komentar yang saya dapat malah yang di luar konteks video tersebut. Entah tentang alis saya yang kata mereka kurang tebal, tentang dahi saya yang jenong, atau baju yang saya pakai.
Sebenarnya ada sedikit kekecewaan yang saya rasakan saat menghadapi hal-hal seperti itu. Karena lewat video-video ini saya melempar narasi yang jarang orang gandrungi. Ketika banyak video yang sifatnya hanya untuk hiburan semata, saya mengajak mereka membicarakan hal-hal positif dari Jerman, negara yang saya tinggali sekarang. Kelak poin-poin tersebut bisa dibandingkan dengan Indonesia dan mungkin bisa jadi trigger untuk membangun Indonesia jadi lebih baik.