Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan, yang bisa mengawasi pungutan sebenarnya orang tua siswa dan guru. Sebab, kalau mengandalkan komite sekolah sulit. Mereka terkadang berlindung atas nama kerja sama dengan sekolah bukan membela kepentingan siswa.
Di samping itu, muncul pula persatuan orang tua murid (POM). yang tidak ada aturannya. Lembaga itu, di mata Amet, sangat tidak relevan, karena lebih dominan daripada sekolah sendiri. ”Lembaga ini mengganggu kelangsungan aturan sekolah sehingga perlu ditata ulang,” ajak Amet.
Hal senada dikatakan Enrizal Nazar, wakil ketua Komisi D. Poltikus asal PKS ini meminta transparansi dunia pendidikan. Sehinggga tidak ada hak untuk memungut biaya dari warga tanpa melewatkan musyawarah.
Kebutuhan Rp 480 miliar, Dinas Pendidikan untuk memproteksi warga miskin sebagai kebutuhan dasar harus bisa dipenuihi. Banyak solusi yang bisa diambil. Misalnya mengisinya dari efesiensi belanja di SKPD lain. ”Angka itu bisa tertutupi, meski tidak 100 persen,” kata Endrizal.
Sementara itu, Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kota Bandung Dicky Kuswara mengaku, tidak keberatan pihaknya dilibatkan secara khusus dalam mengkaji masalah siswa miskin untuk mendapat kucuran APBD.
Meski demikian, sahut Dicky, masalah pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, orang tua juga harus terlibat. ”Masalah penganggaran pendidikan bagi saya setuju. Sebab, ada warga yang hampir miskin, dan miskin. Tetapi harus tepat sasaran. Pengentasannya harus ada ketegori sehingga tepat sasaran,” pungkas Dicky. (edy/fik)