Nah untuk mencegah anak-anak tidak terseret ke perilaku menyimpang, jangan sampai berada dalam kondisi kosong. Orangtua atau guru, wajib mengisi jiwa anak-anak itu dengan tujuan yang positif atau cita-cita. Jika pengisian cita-cita itu sudah tertanam, maka tujuan hidup keseharian anak-anak adalah mengejar cita-cita itu. ’’Anak-anak ini sudah tidak ada lagi prioritas untuk berdekatan dengan pengaruf-pengaruf negatif seperti televisi, game, atau lainnya,’’ jelas dia.
Haidar juga berpesan kepada sekolah supaya tidak cenderung menghargai anak-anak yang berprestasi secara koginitif saja. Sehingga dia sangat tidak cocok dengan sitem pemeringkatan (ranking) berdasarkan nilai rapor.
Menurutnya setiap guru atau orangtua harus memandang anak memiliki bintang yang menempel di keningnya. Dengan dukungan seperti ini, energi anak-anak tidak sampai tersalurkan ke kegiatan negatif.
Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay menyatakan, berbagai kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak menjadi salah satu indikator lemahnya implementasi Undang Undang nomor 35 tahun 2014. Sejak disahkan dua tahun lalu, pemerintah tak kunjung menyelesaikan peraturan teknis baik itu peratuan pemerintah ataupun peratuan menteri terkait. ”Belum ada peraturan menteri yang menjadikan UU Perlindungan anak ini operasional,” kata Saleh dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.
Dari sisi anggaran, selama ini pemerintah juga kurang maksimal. Menurut Saleh, sebelum era kepemimpinannya, anggaran untuk perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan hanya mencapai Rp 212 miliar. Pada masanya kini, Komisi VIII telah memutuskan tambahan senilai Rp 1 triliun demi biaya perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.
”Namun, belum diketok sudah dipotong Rp 500 miliar, sekarang tinggal Rp 712 miliar saja,” kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional itu.
Jika saat ini pemerintah memutuskan mengeluarkan Perppu perlindungan anak yang salah satunya memperberat hukuman kepada pelaku, Saleh meminta aspek teknis itu juga diperhatikan. Sebagai contoh, saat pelaku pemerkosaan dikebiri, akan ada chip yang digunakan untuk memantau pelaku. ”Chip ini siapa yang memantau, kepolisian atau siapa? Berapa biaya yang dikeluarkan? Pemerintah harus berpikir cepat,” ujarnya.
Lebih lanjut, pemerintah sebaiknya memikirkan juga pemberdayaan terhadap korban. Selama ini, ujar dia, korban pemerkosaan selalu menderita. Secara sosial, korban pemerkosaan selalu merasa malu, sehingga sulit untuk mendapatkan penghidupan secara sosial. Sementara bagi pelaku, apabila sudah keluar penjara, tidak akan menghilangkan nestapa dari korban.