Duta Indonesia untuk UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) Arief Rachman mengatakan, penanganan kasus kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak, harus ditangani secara serius. Meskipun jumlahnya masih kasuistik, menurutnya tidak boleh dianggap remeh. ’’Bagi saya sudah fase darurat kejahatan terhadap anak,’’ katanya kemarin.
Arief mengatakan aspek pencegahan, rehabilitasi, dan pemberian sanksi harus dijalankan secara bersama-sama untuk membendung kejadian serupa terus terulang. Setelah kasus Yuyun saat ini di Surabaya sedang geger kasus serupa, ada bocah 13 tahun dicabuli delapan orang temannya sendiri.
Aspek pencegahan dilakukan di keluarga melalui penguatan kehidupan beragama. Keluarga harus menanamkan norma-norma agama kepada anak. Keluarga tidak boleh memasrahkan penuh urusan ini kepada sekolah.
Upaya pencegahan di sekolah melalui penanaman karakter. Guru dan seluruh keluarga besar di sekolah, harus menomorsatukan penanaman karakter kepada siswa. Siswa harus memiliki karakter mulai, untuk mencegah terjadinya kejahatan anak-anak.
’’Masyarakat peran pencegahannya melalui pendidikan moral,’’ jelas guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu. Menurut Arief masyarakat harus memiliki tanggung jawab untuk ikut mendidik anak-anak di lingkungannya untuk bermoral. Meskipun anak-anak itu bukan anaknya, masyarakat tetap memiliki tanggung jawab secara kolektif.
Selanjutnya sekolah memegang peran kunci untuk proses rehabilitasi. Dia mengatakan anak-anak yang memiliki kecenderungan nakal, jahat, dan perilaku menyimpang lainnya sejatinya bisa dideteksi oleh guru. Sayangnya guru cenderung memikirkan tugasnya sebagai pengajar di depan kelas.
Pria kelahiran Malang 73 tahun silam itu menjelaskan, sekolah harus mengenali anak yang labil dan stabil. Kemudian anak-anak yang labih harus ’’ditandai’’ kemudian dirangkul. Cara mendeteksi anak-anak yang labil itu bisa melihat perilaku sehari-harinya. Seperti sering ngantuk di kelas, berarti kerap begadang. Atau anak yang mendadak menjadi pemarah dan hiperaktif, juga menunjakkan gejala tidak sehat dalam kehidupannya sehari-hari.
Dan terakhir adalah aspek pemberian sanksi. Anak-anak yang terang-terangan melanggar norma hukum dan susila, langsung dijatuhi hukuman seuai peraturan yang berlaku. Supaya menjadi contoh bagi kawannya untuk tidak melakukan kegiatan serupa.
Ketua Yayasan Lazuardi Haidar Bagir menuturkan anak-anak yang terlibat dalam kejahatan sejatinya memiliki kekosongan di dalam dirinya. Kekosongan itulah yang akhirnya dimasuki konten-konten negatif. Konten negatif itu bisa dari tayangan televisi, game, atau akses tayangan porno yang mudah.