Menurutnya, bagaimana DKI tidak terserang DBD. Sebab daerah penyangga DKI seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang berstatus KLB. Maka wilayah pinggiran DKI juga terimbas dari wilayah luar tersebut. ”Yang tinggi-tinggi ya yang deket daerah-daerah itu. Kayak Duren Sawit tinggi karena dekat dengan Bekasi, Pasar Rebo dari Depok, Cengkareng dari Tangerang,” urainya. Menurutnya juga, untuk melihat permasalah DBD itu jangan melihat angka. ”Kalau ngomong DBD itu kita lihat IR atau insiden rate,” paparnya.
Secara keseluruhan IR DBD untuk DKI mencapai 17,21. Artinya per 100 ribu penduduk ada 17 orang yang terserang DBD. Berdasarkan data yang dibacanya, IR tertinggi berada di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara yakni mencapai 30,65. Posisi IR kedua ditempati Setia Budi 29,44, ketiga Tebet 29,37.
”Kalau kamu melihat tempat-tempat tadi, itu tempat-tempat di mana petugas jumantik tidak bisa masuk. Kelapa Gading, Setiabudi, Tebet. Ini yang mesti terus dipantau. Sekolah-sekolah nyamuknya banyak banget,” ungkapnya. Insiden tertinggi DBD diderita anak umur 7-12 tahun yakni mencapai 40 persen.
DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang beroperasi antara jam 09.00-13.00. ”Artinya anak-anak itu kenaknya ada di sekolah. Makanya sekolahnya yang mesti diobrak-abrik,” tegasnya. Kusmedi mengaku pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI.
Yakni untuk segera melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di sekolah-sekolah. Menurutnya, selama ini masyarakat masih mengandalkan fogging untuk mengatasi DBD. Padahal akibat fogging yang dilakukan tidak benar justru menjadikan masalah baru. Justru banyak nyamuk DBD yang resisten atau kebal.
Secara prosedur, fogging itu sudah diatur oleh Puskesmas setempat. ”Tapi ini enggak, ada yang seminggu dua kali difogging. Ya lama-lama nyamuknya resisten,” urainya. Jika di suatu wilayah ada kasus DBD petugas akan mengecek terlebih dahulu. Jika ditemukan jentik baru difogging. Kalau tidak ditemukan, maka hanya dilaksanakan PSN saja. (dni/fik)