Memey juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua pelaku usaha memakai rupiah dalam transaksi. ”Kami mendukung kebijakan itu. Namun, untuk industri pelayaran, ada yang bisa dan ada yang tidak seperti kapal-kapal offshore. Tidak bisa dipukul rata seperti itu,” tandasnya.
Dia mencontohkan, kapal-kapal yang melayani distribusi minyak dan gas Pertamina memiliki kontrak dalam mata uang dolar Amerika Serikat (USD). Otomatis, pinjaman ke bank juga dibuat dalam USD dengan bunga 8 persen per tahun. ”Nah, karena diganti rupiah, pinjaman juga harus rupiah. Bunga bank naik menjadi 12 persen per tahun,” terangnya.
Akibatnya, pemilik kapal membebankan bunga tinggi itu ke tarif yang dibayar pengguna. Dalam hal ini, pemerintah melalui Pertamina harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membayar pemilik kapal. ”Di Singapura atau Malaysia, kebijakannya tidak seperti itu. Harus dipilah-pilah. Jadi, tidak harus semua pakai rupiah,” tambahnya.
Dia berharap pemerintah membandingkan dengan kebijakan di negara lain. Sebab, Indonesia sudah masuk dalam era pasar bebas. ”Kita banyak berurusan dengan dunia internasional. Hampir semua bayar pakai dolar seperti asuransi, spare part, dan biaya-biaya lain. Kapal asing juga sama,” sebutnya.
Salah satu yang menjadi perhatian Memey adalah tingginya suku bunga kredit bank. Menurut ibu tiga anak tersebut, bunga bank di Indonesia termasuk paling tinggi di antara negara-negara ASEAN lainnya. ”Kalau mau menang di MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), seharusnya suku bunga bank 4-5 persen saja,” katanya.
Selain itu, kalangan pelaku usaha di bidang pelayaran meminta pemerintah kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) karena harga minyak dunia sudah sangat rendah. ”Harga BBM sudah turun, tapi sedikit sekali. Padahal, biaya BBM itu 40 persen dari total biaya operasional,” jelasnya.
Menurut dia, daya saing industri pelayaran nasional perlu ditingkatkan dengan menurunkan biaya tinggi. ”Meskipun kita punya asas cabotage (pelayaran di dalam negeri wajib diangkut kapal berbendera Indonesia, Red), mayoritas angkutan ekspor impor kita sekarang masih dilayani kapal asing,” tuturnya.
Sayang, kapal-kapal asing tersebut tidak dikenai pajak apa pun oleh pemerintah Indonesia. ”Bagaimana kita mau bersaing dengan kapal asing di pelayaran ekspor impor kalau kita banyak dikenai pajak? Sedangkan kapal asing tidak sama sekali. Persaingan jelas tidak imbang antara kapal lokal dan asing,” tegasnya.