Namun, di balik itu, ayahanda Erwin Aksa, mantan ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), itu ingin bangsa ini meniru semangat tiga negara tersebut.
Aksa memberikan perbandingan. Korsel dan Indonesia sama-sama pernah dijajah Jepang. Begitu Jepang menyerah setelah bom atom menghancurkan Hiroshima pada 6 Agustus 1945, Korsel langsung menyatakan merdeka 15 Agustus 1945. Indonesia menyusul dua hari kemudian.
”Sejak saat itu, Korsel bertekad mengalahkan Jepang. Sedangkan Indonesia malah selalu minta bantuan Jepang,” kata Aksa, lalu tertawa kecil, kemudia menyeruput tehnya dari cangkir putih mini.
”Korsel sudah di atas Jepang untuk beberapa sektor,” kata Aksa sambil melirik ponselnya, gadget produksi pabrikan Korsel berbasis Android. Walau dalam beberapa bidang lagi, tambah dia, Negeri Matahari Terbit tetap amat superior.
Aksa juga senang pada semangat Tiongkok. Dia ingat betul, lebih dari 30 tahun lalu, saat datang ke Shanghai untuk melihat kereta api tua dan tak layak pakai. Bangunan minim, di mana-mana pemandangan tak elok. Toilet bandara rusak. Bau.
Aksa yang sudah jadi pengusaha saat itu malah digoda untuk mau membangun tol serta perumahan di dalam kota. Namun, dia tak tertarik.
Sekarang, ujar dia, Shanghai luar biasa maju dan cantik. Banyak hal yang mereka lakukan, tak dilaksanakan di Jakarta, Makassar, atau kota mana pun di Indonesia.
Nah, sambil berharap suhu ekonomi global semakin sejuk, pembenahan dalam negeri juga amat penting. Bagi Aksa, ada kondisi yang tidak sinkron antara tiga lini ini: pemerintah, lembaga keuangan, pengusaha. Padahal, ketiganya harus saling menopang.
Dia beranalogi, pengusaha sebagai tubuh, pemerintah menjadi jantung, lembaga keuangan adalah darah. Bila lembaga keuangan tak melancarkan kredit, misalnya, jantung akan terganggu. Apalagi tubuh. ”Pengusaha seharusnya dipermudah. Didukung. Pertumbuhan ekonomi kuncinya di pengusaha,” tegas Aksa.
Dia juga menilai, ribut-ribut dalam pemerintahan masih lumayan mengganggu. Beberapa menteri jalan sendiri-sendiri. Undang-undang satu dengan undang-undang lain saling bantah. Satu lagi, penegakan supremasi hukum. Aksa mengatakan, Tiongkok pada awal kebangkitannya menjadikan hukum di atas segala-galanya. Pejabat korupsi dihukum mati. Itu efektif bikin kapok.