Budayawan Pertama Non-PNS yang Duduk di Birokrasi

Bicara soal ngopi, Hilmar mengaku sudah menjadi budaya. Dia bahkan menyebut seperti terlahir dari secangkir kopi. Hilmar menyatakan sudah pernah mencicipi kenikmatan hampir semua jenis kopi. Namun, lidahnya lebih nyantol dengan kopi Bali. Bagi dia, kopi dari Pulau Dewata itu paling nikmat.

Ngomong-ngomong soal kopi, Hilmar sampai ingin membuat si hitam legam tersebut sebagai media promosi budaya. ”Kopi tidak sebatas menjadi bagian dari khazanah kuliner Nusantara,” kata dia. Lebih dari itu, kopi juga akan dijadikan duta budaya. Kopi akan disampaikan sekaligus dengan kisah-kisah kebudayaan yang melekat di dalamnya.

Lalu, sambil sedikit merebahkan badan di sandaran kursi, Hilmar bercerita soal kisah hidupnya nyemplung ke dunia kebudayaan. Dia mengaku masuk ke kebudayaan bukan sebagai pelaku seni. ”Soal kesenian, saya bisa sih main gitar,” ucap dia. Tetapi, keterampilan bermain gitarnya masih belum masuk level untuk dipertunjukkan.

Hilmar menceritakan, pada 1987 dirinya tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Kemudian, memasuki awal 1990, Hilmar cenderung bergiat dalam diskusi-diskusi kebudayaan. Dia memfokuskan diskusi kebudayaan dari aspek sosial dan historinya. Masa-masa itu memang sedang lagi in diskusi tentang cultural studies.

Topik diskusinya saat itu antara lain adalah perihal hegemoni. Khususnya hegemoni rezim Orde Baru. Dia mengaku begitu heran mengapa hegemoni Orde Baru begitu kuat. ”Sampai orang mau mengeluarkan ekspresinya itu takut,” herannya. Memang saat itu sedang gencar pemberedelan media yang kritis dan sensor yang terlalu ketat.

Di ujung diskusinya soal hegemoni Orde Baru tersebut, Hilmar sempat berpikir apakah masyarakat sendiri masuk dalam sistem penciptaan hegemoni itu. Sehingga hegemoni rezim Pak Harto begitu dijalankan masyarakat secara masif.

Setelah lulus kuliah pada 1997, Hilmar tergabung dalam perkumpulan pers alternatif. Pers alternatif adalah perkumpulan orang yang merasa prihatin atas upaya pemberedelan media massa mainstream waktu itu. ”Tapi, saya tidak sampai menjadi wartawan profesional di media massa,” kata dia.

Beberapa tahun kemudian, Hilmar bersama rekannya membuat wadah Jaringan Kerja Budaya. Di wadah tersebut Hilmar menerbitkan majalah bertajuk Media Kerja Budaya. Media itu berisi esai-esai dan tulisan ringan tentang kebudayaan. Hasil-hasil kajian kebudayaan masuk dalam media bentukan Hilmar tersebut. Tetapi, umur majalahnya tidak lama karena kesibukan pengurusnya.

Tinggalkan Balasan