Sejam Seberangi Sungai sembari Mengelus si Raja Hutan

Tugasnya adalah menangani satwa liar hasil penyitaan dari perdagangan ilegal, pemeliharaan ilegal, serta perburuan di wilayah Jawa Timur dan Bali, lalu merehabilitasi dan melepasliarkannya kembali.

Mulai 2004, dia pindah ke Sumatera dan menjadi dokter hewan di BKSDA Bengkulu hingga saat ini. ”Selain itu, saya pernah menjadi konsultan medis untuk rehabilitasi orang utan Sumatera di Frankfurt Zoological Society di Jambi pada 2005 sampai 2009,” jelas Yanti yang selain harimau juga pernah menangani gajah sumatera serta orang utan itu.

Dia juga aktif dalam beberapa organisasi serta lembaga swadaya masyarakat seperti Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum Harimau Kita). Juga, anggota Dewan Penasihat LSM Centre for Orangutan Protection plus Animals Indonesia yang bekerja di bidang konservasi satwa liar.

”Kalau tidak sedang menangani satwa liar yang membutuhkan pertolongan, saya juga membantu memberikan pelatihan untuk dokter hewan lokal. Yakni, tentang pembiusan dan penanganan harimau korban konflik dan perburuan,” paparnya.

Selain itu, Yanti memberikan pelatihan untuk petugas lapangan seperti polisi kehutanan, SPORC dan tim patroli, sektor swasta atau perusahaan, masyarakat, serta LSM tentang cara penanggulangan konflik harimau dan pemeriksaan forensik veteriner.

”Terkadang saya juga mendapat undangan untuk mengajar di fakultas kedokteran hewan tentang medis konservasi. Juga, terlibat dalam beberapa penelitian harimau dan kucing besar lainnya,” katanya.

Selama sekitar delapan tahun menangani harimau korban konflik, tantangan terbesar yang dihadapi Yanti malah tidak berhubungan dengan cara pengobatan. Melainkan fasilitas perawatan yang kurang memadai.

Padahal, per tahun, rata-rata dia menangani 1-2 ekor harimau korban konflik. ”Jadilah kami sering terpaksa merawat harimau di kandang sempit atau kandang jebak,” ujarnya.

Bagi dia, itu tak ”manusiawi”. Binatang sepatutnya juga diperlakukan secara beradab seperti juga manusia. ”Selama delapan tahun bekerja dengan harimau, kami juga belum memiliki peralatan rescue yang memadai. Selama ini, saya sendiri berusaha mendapatkannya dari teman kolega dokter hewan di Australia, Eropa, dan Amerika,” ungkapnya.

Belum lagi kendala minimnya pihak yang mau mengulurkan tangan untuk bidang medis konservasi. Alias menolong harimau yang telanjur menjadi korban. Sebagian besar bantuan masih terfokus pada studi populasi, ekologi, dan wildlife crime.

Tinggalkan Balasan