Mengenang Edhi Soenarso, Maestro di Balik Tiga Tetenger Ikonis Jakarta

Bung Karno bilang seperti itu sambil mengangkat kedua tangannya dengan mimik muka seperti orang berteriak. Seketika itu pula Edhi langsung membuat sketsa berdasar polah tubuh pemimpin bergelar Putra sang Fajar tersebut.

Sebagaimana Anies Baswedan, pelukis Godod Suteja juga mengenang Edhi sebagai figur hangat dan tak pernah berjarak dengan siapa pun. Itu dibuktikan pula dengan berdirinya Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Soenarso yang menjadi ruang interaksi antarseniman.

Griya seni itu menjadi cita-cita terakhir sang maestro yang berhasil direalisasikan. Ruang seni yang terletak di belakang ke­diamannya tersebut menyajikan karya-karya Edhi dan istrinya, Kustiyah. Lantai pertama menyajikan patung-patung karya Edhi, lalu di lantai dua terpampang karya-karya lukis almarhumah Kustiyah.

”Beliau sosok seniman yang tidak hanya bicara seni, tapi juga jiwa nasionalismenya tinggi. Memperhatikan betul anak muda dalam jagat seni,” kata seniman Djaduk Ferianto.

Kini maestro yang hangat itu sudah beristirahat di kompleks makam seniman Giri Sapto Imogiri. Prosesi pemakamannya kemarin dilakukan dengan cara militer. Itu bentuk penghargaan atas perannya dalam kemerdekaan Republik Indonesia pada masa itu. Di mata Asvi, sang maestro berpulang dengan indah. Sebab, kiprah panjangnya ditandai dengan kembalinya dia ke salah satu ciri khas kesenimanannya yang sarat pesan kebangsaan.

Patung Putra sang Fajar menjadi bukti. Patung Bung Karno yang digambarkan dalam kondisi ”terpenjara” itu kemudian disumbangkan ke ISI Jogjakarta dan dipajang di sana sampai sekarang. (*/c11/ttg/rie)

Tinggalkan Balasan