Kanya Puspokusumo tanpa Lelah Sosialisasikan Multipel Sklerosis

”Yang banyak itu malah orang-orang yang bukan MSer (penyandang MS, Red), kebanyakan dokter saraf,” katanya.

Sosialisasi tentang MS pun terus dilakukan, baik melalui tulisan yang diterbitkan di beberapa media maupun buku panduan yang dicetak Kanya secara mandiri. Buku-buku tersebut lantas dibagikan gratis kepada siapa saja.

Untuk membantu pemahaman awam tentang MS, Kanya juga membikin komik tentang penyakit tersebut. Selain itu, kisah pergulatannya dengan MS termuat di website MSIF (Multiple Sclerosis International Federation) dan MS in Focus magazine yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

MS mulai mendera alumnus Jurusan Sastra Jepang Universitas Padjadjaran itu pada 1997. Saat itu dia masih aktif mengajar sebagai dosen di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Yapari Akademi Bahasa Asing (ABA) Bandung.

Suatu hari, tiba-tiba dua kakinya mati rasa alias lumpuh. Kelumpuhan itu terjadi selama seminggu. Setelah sepekan berlalu, dua kakinya kembali berfungsi seperti sedia kala. Karena pengetahuan tentang penyakit MS sangat minim, dokter pun hanya mendiagnosis dia terkena stroke ringan.

”Jangankan orang awam, pada waktu itu dokter di sini juga banyak yang belum tahu tentang penyakit MS ini. Saya waktu itu ya percaya-percaya aja,” kenangnya.

Setelah pulih dari lumpuh, Kanya pun kembali bekerja seperti biasanya. Namun, empat tahun berselang, kala Kanya tengah mengikuti program pertukaran dosen di Jepang, tamu tak diundang itu datang lagi. Kelumpuhan kedua tersebut terjadi lebih lama daripada sebelumnya.

Perempuan yang juga aktif menulis itu pun terpaksa dirawat di rumah sakit di Jepang. Ketika itulah dia baru mengetahui bahwa dirinya menderita MS. Kanya pun diberi tahu bahwa penyakit yang diderita tergolong langka.

Karena itu, selama di Jepang, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Namun, sepulang dari sana, Kanya seperti kehilangan arah. Karena minimnya pengetahuan tentang MS di Indonesia, dia merasa terkucil. Dia merasa orang-orang sekitar justru menganggapnya aneh ketika mulai mengalami gejala.

Dalam kesendiriannya itu, tiga tahun kemudian, penyakit tersebut kembali datang. Kali ini yang terparah. Kanya mengalami kelumpuhan selama enam bulan serta sempat koma lima hari. Ternyata, saat itu dia tengah menderita depresi berat. Depresi itulah yang kemudian memperparah kondisi penyakitnya.

Tinggalkan Balasan