Nakhodai Perahu Pustaka Bawa Empat Ribu Buku

Bukan hanya di laut, di darat pun Ridwan menggerakkan motor pustaka yang khusus untuk daerah pegunungan hingga kampung terpencil. Juga becak, sepeda, dan bendi pustaka untuk kawasan tak jauh dari tempatnya berdomisili.

Dengan nada bicara merendah tapi raut yang memperlihatkan kelegaan, Ridwan mengenang bagaimana anak-anak, di pantai, daratan, maupun pegunungan, selalu menyambut armada pustakanya dengan antusias. ”Jadi, kata penulis buku Orang Mandar Orang Laut tersebut dengan nada suara kembali meninggi, anak-anak kita itu sebenarnya minat bacanya tinggi. Hanya akses ke buku yang minim sekali,” ujar dia.

Tiap kali menepi bersama perahunya, rekan Ridwan, As’ad, akan membeber tikar sederhana. Lalu, kotak buku diturunkan, bacaan pun digelar. Anak-anak pesisir dengan penuh semangat menjamah buku-buku koleksi pustaka itu.

Pelayaran perahu tersebut juga dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat untuk menyosialisasikan pemilu yang ketika itu akan dihelat. Jadi, sembari membaca buku, anak-anak juga mendapat pengarahan sederhana dari Sukmawati, komisioner KPU yang mengikuti rombongan Ridwan.

Penggagas Perahu Pustaka Pattingalloang tersebut adalah Nirwan Ahmad Arsuka, budayawan kelahiran Barru, Sulawesi Selatan. Pelayaran pertamanya bertepatan dengan dimulainya Makassar International Writers Festival pada 3 Juni lalu.

Tiap kali singgah di sebuah tempat, Ridwan dkk meminta izin kepada guru sekolah setempat agar para murid diperbolehkan ke perahu. ”Jadi sekalian edukasi maritim,” ucapnya.

Agar suasana santai, saat anak membaca, berbekal boneka sederhana, kru Perahu Pustaka biasa mendongeng. Atau membagikan cerita-cerita unik. ”Hanya untuk menghibur. Agar tidak jenuh saat membaca,” tutur penulis buku Sandeq Perahu Tercepat Nusantara tersebut.

Pada akhirnya, bukan hanya anak-anak yang mengerumuni mereka, tapi juga orang-orang dewasa. Ketika harus bermalam di tempat yang disinggahi, kru perahu juga menayangkan film dokumenter tentang perahu sandeq dengan peralatan seadanya. Di Malunda, misalnya, mereka memanfaatkan layar dari spanduk.

Setelah selesai, Ridwan dkk akan menginap di perahu. Esoknya mereka bergegas ke tujuan berikutnya. Untuk sekali pelayaran selama seminggu, Ridwan harus mengeluarkan biaya Rp 3 juta. Termasuk untuk membayar pelaut yang ikut. ”Kami sepakat bayaran mereka Rp 100 ribu per hari. Untungnya ada sisa (uang) dari kegiatan di Makassar beberapa waktu lalu yang cukup untuk tiga kali pelayaran,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan