[tie_list type=”minus”]Tak Mudah Samakan Persepsi[/tie_list]
BATUNUNGGAL – Menetapkan lingkungan layak huni tak semudah membalikan telapak tangan. Mengambil contoh, pemukiman di bantaran sungai menjadi tidak layak ketika bangunan membelakangi sungai dan tak teratur. Namun ketika menghadap sungai melalui konsep penataan ruang yang benar, warga betah menetap.
’’Intinya tidak mudah menyamakan persepsi lingkungan layak huni,’’ kata anggota Komisi C DPRD Kota Bandung, Arif Hamid Rahman, kemarin (6/10).
Ketua Fraksi Gerindra tersebut menjelaskan, kawasan komplek pemukiman secara kasat mata dipandang layak huni. Sebab, tata bangunan dan sistem drainase memungkinkan tersedia. Persoalannya, tidak tersedianya air bersih jadi pertimbangan orang tidak mau menetap. ”Intinya fasilitas yang menjadi kebutuhan dasar tak tersedia termasuk keamanan minim, bukan saja tidak layak huni. Tetapi, lingkungan itu jadi bangunan terlantar,’’ tukas Arif.
Diberlakukannya undang-undang penataan ruang ditindaklanjuti turunannya melalui Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan lebih rinci diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), yang disebut hunian layak atau hunian idaman, minimal kriteria kawasan tenang, nyaman serta jauh dari kebisingan menjadi sarat utama.
Untuk itu tidak berlebihan pemerintah menerapkan zonning regulation. ’’Memisahkan kawasan hunian, perindustrian dan kawasan perdagangan multak diatur dalam RDTRK,” imbuh legislator utusan daerah pemilihan lima tersebut.
Masyarakat kota dalam menempati kawasan hunian layak, selalu menganalisa lingkungan terlebih dahulu. Terkecil, terkait tata bangunan tidak dapat dipaksakan. Sehingga, terkadang peranan arsitektur jadi ukuran. Desain bangunan menjadi salah satu pertimbangan hunian layak. ’’Banyak hal mengakali kawasan layak huni, tetapi faktor arsitektur turut mempengaruhi area pemukiman,” sahut dia.
Mempertimbangkan kriteria seperti disebutkan di atas, persepsi berbeda muncul tentang lingkungan layak huni. Diserahkan pada masing-masing orang. Memindahkan penghuni kawasan kumuh ke rusunawa akan terlihat layak huni. Lingkungan yang nilai sanitasinya rendah masih perlu pengkajian. ’’Lingkungan layak huni kalau kita kembalikan ke cara berpikir masyarakat dengan mensyukuri nikmat tuhan, menjadi tidak terukur,” pungkas Arif. (edy/vil)