Tret-tet-tet, Tradisi Berani Pergi Bertandang

”Nilai plus Jawa Pos adalah kami tak hanya memberitakan, tapi ikut juga terlibat mengkoordinir suporter dan menjadi bagian internal dalam tim,” kata Slamet Oerip Prihadi, mantan redaktur olahraga senior Jawa Pos.

Selain mengkoordinir gerakan Tret-tet-tet dengan memobilisasi ribuan suporter melakukan laga tandang, Jawa Pos melibatkan diri secara langsung dengan tim. Dahlan Iskan bahkan sempat didapuk mengurusi tim dalam kurun waktu 1987 -1991.

Jawa Pos punya turut andil besar membesarkan nama Persebaya hingga digilai banyak orang. Stadion penuh, loyalitas pun tumbuh subur di sana. ”Euforia masyarakat Surabaya dan Jawa Timur terhadap Persebaya di dasawarsa 1970-an tak seheboh apa yang terjadi pada akhir 1980-an,” kata Fajar Junaedi, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga sempat menulis buku Bonek. ”Faktor Jawa Pos yang tak henti memberitakan bisa jadi alasan utama,” tambah Fajar.

 Kisah di Balik Tret-tet-tet

’Kita bentangkan kain rentang yang lebih besaaaaaar lagi. Kita tiupkan terompet yang lebih nyaring. Kita pukul genderang yang lebih keras. Mari kita kembali ke Jakarta: Tret tet teeettt!’

Kalimat ini muncul di Jawa Pos edisi 4 Maret 1987. Tak tanggung dicantumkan di halaman depan di pojok kiri bawah menghabiskan dua kolom. Pada edisi itulah untuk kali pertama istilah Tret-tet-tet dipopulerkan.

Dahlan Iskan sosok di balik berita itu. Isi berita nya mengajak para pembaca mendukung perjuangan Persebaya melawan PSMS Medan di babak enam besar Perserikatan 1986/87. Laga diadakan di Stadion Senayan, Jakarta.

Sejatinya, itu bukan yang kali pertama awak redaksi Jawa Pos melakukan Tret-tet-tet. Lima hari sebelumnya perjalanan ke Jakarta dilakukan ketika Persebaya melawan Persija (1/4/1987). Tapi, perjalanan ini tak diumumkan di koran. Lebih bersifat internal dan yang berangkat pun hanya empat bus.

Meski begitu, kali pertama itulah pengkoordiniran suporter mulai dilakukan. Selain membayar uang Rp 30.000 (jika setarakan saat itu berkisar Rp 200.000), tiap-tiap yang mau berangkat diwajibkan membuat ikat kepala berwarna hijau bertuliskan ’Persebaya’ dan rumbai-rumbai warna kuning tua. Sebanyak 180 terompet untuk meriuhkan stadion disiapkan panitia. Sayang, banyak yang tidak mau nurut. Terompet pun enggan ditiup. Capek, katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan