Dampak positif dari kombinasi pembelajaran di sekolah dan rumah tersebut juga dirasakan pengajar di tingkat sekolah dasar (SD). Kepala SD Inpres Retta Putri Juli Djahimo menjelaskan, saat ini ada sepuluh lulusan PAUD yang belajar di kelas I. Sisanya adalah dua anak yang tidak belajar di PAUD.
Perbedaannya sangat terlihat. Lulusan PAUD lebih cepat menyerap pelajaran SD. ’’Beda dengan dulu (sebelum para pengajar PAUD mendapat pendampingan menyusun kurikulum, Red),’’ kata Putri.
Padahal, menjadi guru PAUD di wilayah itu sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran penghasilan. Para orang tua murid pun menyumbang seikhlasnya.
Di PAUD Bethel Retta, ada tiga guru lain di luar Menahem. Sedangkan di Sayang Tiberias, terdapat lima pengajar, termasuk Aleta. Mereka tidak mendapat gaji, hanya insentif dari Pemerintah Kabupaten Alor.
Itu pun sangat minim. Misalnya, di PAUD Sayang Tiberias, insentif hanya Rp 1 juta per tahun dibagi lima guru. Jadi, per guru hanya menerima Rp 200 ribu setahun.
Uang sejumlah itu diberikan dalam dua semester. Sekali menerima pada semester pertama Rp 100 ribu. Semester berikutnya, enam bulan kemudian, baru dapat Rp 100 ribu lagi.
Padahal, Menahem, misalnya, punya tanggungan tiga anak. Salah satu anak akan masuk SMA. ’’Saya sampai sempat berpikir merantau untuk menghidupi keluarga,’’ kata Menahem.
Tapi, niat itu akhirnya dipendam demi cita-cita menjadikan pendidikan di desanya maju. Padahal, selama ini, pria lulusan SMA tersebut bingung untuk membayar uang sekolah anaknya yang sebesar Rp 35 ribu per bulan. Selama ini, untuk makan sehari-hari, pria yang pernah bekerja sebagai tenaga sekuriti di Batam pada 2003–2006 itu mengandalkan berladang.
Jika musim panas, dia berladang kemiri dan jambu. Kalau kemarau, dia mengolah ikan bubuh (ikan kecil) dengan sistem satu hari dijual. Atau menganyam daun lontar menjadi kerajinan bakul atau tempat sirih dan telepon seluler.
Beban Aleta memang tidak seberat Menahem. Sebab, perempuan 40 tahun itu masih melajang. Tapi, dia tetap harus mencari penghasilan dari bidang lain.
Aleta, yang juga lulusan SMA, menjadi guru PAUD sejak awal tempat pendidikan itu berdiri. Awalnya, dia aktif di posyandu sebulan sekali. Kemudian, tiga bulan sekali dia memberikan pelayanan cek kesehatan dan makanan dari kacang kedelai.
Dulu Hanya Nyanyi dan Doa, Kini Kenal Huruf serta Warna
- Baca artikel Jabarekspres.com lainnya di Google News