Dua Tahun Menunggu Sertifikat NATO

Menariknya, meski kini menggeluti dunia bom dan rudal, Ricky awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis seputar alutsista. Pria yang berdomisili di Malang itu sebelumnya hanya rekanan biasa PT Pindad. Itu terjadi pada 1993.

’’Saat itu saya supplier barang umum, kebutuhan rumah tangga. Mulai produk pel-pelan, sapu, dan sejenisnya,’’ jelasnya.

 

Ricky juga berwiraswasta dengan memproduksi onderdil kendaraan bermotor berupa knalpot. ’’Itu sebenarnya bukan profesi utama. Cuma pernah (bisnis, Red) ini, pernah itu. Orang bisnis itu kan mencari bentuknya dulu,’’ jelas Ricky.

Nah, keahlian mengolah material baja untuk knalpot tersebut menginspirasi Ricky untuk menekuni bisnis selongsong bom. Maklum, bodi knalpot dan selongsong bom memang mirip dari sisi material, yakni sama-sama berbahan baja.

Suatu saat Ricky bersama sejumlah pejabat PT Pindad berkesempatan terbang ke Rusia untuk memenuhi undangan pameran. Kesempatan itu digunakan Ricky untuk mencari tahu teknologi pembuatan bom.

’’Kalau sekadar begini, saya bisa memproduksi,’’ kata Ricky setelah melihat-lihat pembuatan bom di salah satu pabrik di Rusia.

Selanjutnya, pada 2005, Ricky mulai serius menekuni bisnis alutsista. Ricky bersama tim riset TNI-AU meneliti salah satu bom buatan Rusia. ’’Kami akhirnya sukses memproduksi sendiri,’’ kenang Ricky.

Yang menarik, selama penelitian, bom P-100 tidak langsung disematkan pada Sukhoi. Tetapi, diaplikasikan dulu ke F-5 yang merupakan produk Amerika Serikat (AS). P-100 tidak mengalami kendala saat dipasang di F-5.

Nah, uji coba dengan F-5 tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi P-100. Sebab, kelayakan amunisi itu diakui sistem persenjataan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO). ’’Sebab itu, kesuksesan di F-5 berarti kita sukses versi NATO dan Rusia. Kita memang desain bom seperti itu,’’ ungkapnya.

Pada 2007, dengan segala kekurangan, bom P-100 hasil produksi Ricky mulai digunakan untuk latihan Sukhoi. Saat itu Sukhoi yang baru tiba dari Rusia belum dilengkapi senjata.

Kalaupun butuh untuk berlatih, TNI mengimpor bom yang kompatibel dengan Sukhoi. Harga per unit terhitung mahal, yakni USD 4.000. Kala itu, pada 2007, harga tersebut setara dengan Rp 40 juta.

Tinggalkan Balasan