Sejak 2014, tiga prototipe Petir menjalani serangkaian uji coba. Yang terakhir, pengujian terbang dilakukan di Pameungpeuk, Jawa Barat. Selama percobaan, Petir belum diisi hulu ledak karena hanya menguji aspek aerodinamika. ’’Selanjutnya kami menguji sistem otopilotnya. Kalau berhasil, kami akan mengisi hulu ledaknya,’’ ujar seorang teknisi. Uji coba terakhir bakal dilaksanakan di Pandanwangi, Lumajang, Oktober mendatang.
Ricky menargetkan, setelah uji coba terakhir, Petir tahun depan diharapkan mengikuti uji kelayakan sebelum digunakan untuk memperkuat alutsista TNI. Dia berharap uji coba yang menyedot biaya Rp 5 miliar itu dapat segera menghasilkan rudal andalan.
Dia mengklaim, Petir sangat cocok dengan kebutuhan militer Indonesia. Selama ini rudal dengan jarak jelajah 60 km belum terisi. Rudal C-701 dan C-705 buatan Tiongkok kini dikembangkan dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki jelajah 60 km dan 135 km. Sedangkan Exocet MM40 Block 2 yang dimiliki TNI-AL berjarak 120 km.
Padahal, lanjut Ricky, Petir mengadopsi sejumlah teknologi mutakhir untuk pengindraan sasaran. ’’Kami sudah pakai multiple 3D point. Ini jelas lebih maju daripada rudal yang menggunakan seeker,’’ jelasnya. Konsekuensinya, lanjut dia, di Petir nanti dibenamkan prosesor tingkat tinggi untuk memproses data sasaran tembak.
Ricky mengakui sudah bertemu dengan perwakilan TNI untuk membicarakan hasil pengembangan rudal dan bomnya. Mereka umumnya tertarik dan diharapkan tiga matra TNI dapat menggunakan produknya. ’’Kami mengapresiasi pemerintah yang kini juga perhatian dengan industri alutsista,’’ jelas dia.
Dia lantas menceritakan perusahaannya yang beberapa waktu lalu diakui sebagai salah satu di antara sepuluh penyuplai resmi yang diajak kerja sama oleh TNI-AU. ’’Kami terdukung secara formal. Penunjukan langsung bisa saja. Namun, mekanismenya tidak berlangsung semena-mena. Ada aturan mainnya sendiri,’’ jelas Ricky.
Yang pasti, dengan produk lokal, bakal terjadi penghematan luar biasa dalam pengadaan alutsista. ’’Harga produk kami jauh lebih murah,’’ ujarnya. Belum lagi dapat memangkas biaya transportasi pengiriman alutsista dari luar negeri. ’’Kalau sudah alutsista impor, transportasinya dari luar negeri, itu sangat mahal,’’ jelasnya. Terlebih, ada fee untuk pihak perantara yang acap kali menambah biaya pembelian alutsista menjadi lebih mahal daripada harga seharusnya.