Teknologi real sense juga bisa digunakan untuk berbagai aplikasi hanya dengan menggerak-gerakkan tangan tanpa menyentuh layar komputer, mouse, atau bahkan tombol di keyboard.
Untuk mengembangkan real sense, Intel membuka kompetisi tahunan bagi para peserta korporat maupun individu di seluruh dunia. Nah, Faqih adalah salah satu di antara banyak inovator asal Indonesia yang tergelitik untuk berpartisipasi.
Faqih mengenang, partisipasinya di real sense challenge yang pertama hanya bermodal iseng. Dia mengetahuinya ketika membaca sebuah majalah komputer terbitan luar negeri.
Karena syarat untuk mengikuti kompetisi itu terbilang mudah, Faqih memutuskan untuk ikut. ’’Saya masukkan saja aplikasinya. Karena syaratnya untuk ikut cuma satu, punya ide,’’ kata pria 29 tahun tersebut.
Ide yang diusulkan suami Fitriya Dwi Rahayu itu adalah mengembangkan game sederhana untuk anak dengan menggunakan sensor gerak tangan di real sense. Pada 2013, ada 50 inovator asal Indonesia yang juga ikut dalam kompetisi tersebut.
Total, ada 750 inovator dari seluruh dunia yang terlibat. Ide Faqih ternyata diterima. Ganjarannya, Faqih mendapat kiriman langsung sebuah kamera real sense dari Intel. ’’Setiap ide yang dinyatakan lolos diminta untuk dibuat menjadi konsep aplikasi langsung lewat kamera itu,’’ ujarnya.
Persoalannya, setelah mendapat teori dasar dari Firstman, kamera kiriman Intel tak kunjung datang. Ternyata, kamera tersebut ditahan pihak bea dan cukai. ’’Saya sampai lapor ke Bu Mari Elka (menteri pariwisata dan ekonomi kreatif ketika itu, Red),’’ ujarnya.
Kamera itu akhirnya memang bisa lolos, tapi sampai ke tangan Faqih di Jogjakarta lima hari menjelang penutupan. ’’Jadi, memang ajur-ajuran (hancur lebur, Red) proyeknya waktu itu,’’ ujarnya, lalu tertawa.
Setelah kegagalan tersebut, Faqih mulai mendalami berbagai aplikasi yang dimiliki Intel untuk keperluan pengembangan akademis mahasiswanya. Salah satunya saat diminta untuk mengembangkan software pendidikan.
Biasanya, para mahasiswa hanya diminta mengembangkan software melalui sistem flash. Namun, Faqih menilai sistem tersebut tidak memiliki distribusi untuk masa depan. Karena itu, diputuskan mengembangkan aplikasi pendidikan berbasis teknologi seluler.
’’Kalau cuma flash, kan akhirnya cuma selesai di laptop saya atau di prodi (program studi, Red). Maka, sekalian saja pakai coding. Jadi, bisa masuk Android, IOS, dan BlackBerry,’’ ujarnya.