Kekurangan Lapas Khusus Anak

[tie_list type=”minus”]Kemenkumham Hadirkan Hukum Budi Pekerti[/tie_list]

ARCAMANIK – Narkotika memang menjadi momok di masa sekarang ini dan sudah menyusup ke seluruh kalangan masyarakat, tidak heran bila banyak anak yang masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan karena tersangkut masalah tersebut.

Direktur Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Priyadi mengatakan, selain narkoba, masalah asusila, kekerasan dan pencurian menjadi faktor masuknya anak-anak mendapat pembinaan di lapas.

Pembinaan yang akan dilakukan oleh Kemenkumham akan mengubah sistem pembinaan menjadi sistem budi pekerti. Hal ini dilakukan untuk mengubah sistem perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Priyadi menjelaskan, hal ini dinilai akan lebih membantu anak dalam memperbaiki fisik dan psikis. ’’Mungkin tapi mungkin hanya dimanfaatkan tapi kalau, ada beberapa kasus memang tapi tidak lebih dari tiga. Dan itupun hanya sebagai pengantar. Itu dimanfaatkan sebagai kurir,’’ ujar Priyadi usai acara Transformasi Sistem Perlakuan Anak Lapas Menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Lapas Anak Kelas III Bandung kemarin (4/8).

Lapas khusus anak yang berada di Indonesia tercatat hanya 20. Sedangkan Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak mencatat ada 3.276 anak di lapas, sehingga 59,31 persen dari total anak tersebut harus berbagi tempat dengan warga binaan dewasa.

Bercampurnya anak dengan dewasa dinilai memiliki dampak kurang baik bagi perkembangan fisik dan psikis anak yang bersangkutan. Oleh karenanya, dibutuhkan satu sistem perubahan perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Untuk menyempurnakan hal tersebut, Kemenkumham mengubah Sistem Perlakuan Lembaga Pemasyarakatan Anak menjadi Sistem Perlakuan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Dalam LPKA, akan diterapkan satu sistem baru, yaitu pendampingan bagi anak sejak ditempatkan di LPKA.

Keseluruhan proses dalam LPKA diawali dengan tahap pembinaan, kemudian pengenalan diri dan lingkungan. Setelahnya, tahap yang dilakukan yaitu penelitian kemasyarakatan, assessment, perencanaan program, sidang TPP, pelaksanaan program pembinaan hingga pengasuhan pemasyarakatan.

Priyadi mengatakan hukum yang ramah anak berbasis budi pekerti memiliki beberapa kelebihan. Pasalnya, anak yang melakukan pelanggaran kesusilaan dan lainnya biasanya karena pendidikan yang berkaitan dengan moral mulai bergeser. Atas hal tersebut, melalui hukum ramah anak berbasis budi pekerti ini, mereka akan kembali dibina dengan pendidikan moral, sopan santun, dan tata krama.

Tinggalkan Balasan