Rusunawa Malah Jadi Kontrakan

 

[tie_list type=”minus”]Banyak Dimiliki Oknum Pegawai Pemerintahan [/tie_list]

BATUNUNGGAL – Pembangunan rumah susun sewa (Rusunawa) diproyeksikan memberikan tempat tinggal pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, realisasinya diindikasikan menyimpang. Banyak Rusunawa dimiliki oknum pegawai pemerintahan dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

’’Rusunawa jadi bisnis kontrakan dengan harga yang cukup menggiurkan,’’ kata Heri Heryawan, warga RT 02 RW 04, Kelurahan Cisaranten Kulon, Kecamatan Arcamanik, di Rusunawa Cingised, kemarin (22/5).

Menurut dia, harga yang ditawarkan paling murah Rp 300 ribu per bulan. Dan kejadian itu sudah berlangsung lama. ’’Saya heran setiap pembangunan Rusunawa tidak disosialisasikan pada warga sekitar. Sehingga, penghuninya bukan warga tidak mampu, malah orang luar,’’ jelas dia.

Alih fungsi Rusunawa juga jadi sorotan Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung Deden Deni Gumilar. Dalam referensinya, Rusunawa Cingised, Sadang Serang dan Rancacili, secara keseluruhan tidak terurus. Sementara terkait retribusi Rusunawa, Deden menilai, tidak jelas siapa yang memungut dan menerimanya. Sebab, sebagai anggota legislator dirinya tidak menemukan PAD yang bersumber dari Rusunawa. ’’Saya menemukan retribusi Rp 60 ribu per bulan dipungut dari penghuni. Tapi tidak jelas. Ke kas daerah mana uang itu?” cetus Deden.

Atas dasar itu pula, politikus Hanura ini meminta wali kota menunda wacana pembangunan 12 Rusunawa baru. ’’Memaksimalkan Rusunawa yang ada jauh lebih baik ketimbang menghamburkan anggaran pengadaan bangunan baru yang tak jelas Perda pengelolaannya,” ucap Deden.

Sebelumnya, Ketua Komisi C Entang Suryaman mengungkapkan, Peraturan Daerah tentang Rusun, pada tanggal 24 Juli 2014 sudah ditetapkan DPRD Kota Bandung. Kendati demikian, kata dia, sejauh ini tidak jelas perkembangannya.

Perda itu, jelas Entang, merupakan inisiatif Komisi C. Salah satu klausulnya memuat tentang rusunawa diprioritaskan untuk warga yang berdomisili di Kota Bandung. ’’Adanya indikasi penyimpangan harus disikapi Bagian Hukum dengan cepat menuntaskan Perda rusun,” imbuh dia.

Pembangunan rumah tinggal di Kota Bandung, memang sudah harus vertikal. Tapi, maraknya pembangunan rusunami dan apatemen, kata Entang, harus disikapi secara proporsional. ’’Keterbatasan lahan di Bandung, menuntut pembangunan rumah vertikal, namun bukan tanpa aturan. Persentase lahan dan RTH tetap harus diperhatikan,” pungkas dia. (edy/tam)

Tinggalkan Balasan