Pengusaha Prihatin Kaum Muda Jadi Sasaran Narkoba dan ISIS

BALEENDAH – Budaya penduduk Indonesia saat ini lebih cenderung banyak meniru budaya luar. Dengan budaya, biasanya masyarakat lebih mudah menerima meskipun itu negatif. Akibatnya, tidak sedikit kaum muda yang terjerat bahaya narkoba dan bergabung dengan jaringan radikal ISIS.

”Inilah yang membuat kami prihatin karena ternyata masyarakat kita harus terjerumus ke jurang kehancuran karena menjadi pengguna narkoba atau bandarnya. Narkoba itu harus ditangkal secara dini dengan pencegahan yang berawal dari keluarga. Selain itu, keimanan juga harus menjadi benteng bagi penyebaran narkoba. Jika sudah parah, jangan harap bisa dibina dengan baik,” papar tokoh masyarakat Kabupaten Bandung Joko Sutanto.

Pimpinan jasa kontruksi PT Tefindo ini mengatakan, budaya Indonesia, apalagi warisan leluhur bangsa patut untuk dijadikan contoh. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya yang diwariskan itu hingga sekarang selalu relevan. Misalnya, budaya sopan santun dan tepo salero tenggang rasa serta selalu menghargai satu sama lainnya. Jika sudah menganut budaya bangsa sendiri, katanya, jaminan untuk hidup selamat dan dihargai orang lain akan dialami.

”Kita tahu hanya bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang berbudaya, sehingga bangsa ini dikenal di dunia sebagai bangsa yang santun,” tegas bapak dua anak dari Ajeng Ayu Nurastika Sari dan Aden Muhammad Hanafi ini.

Joko menjelaskan, kasus teroris yang heboh dengan sebutan ISIS adalah penyelewengan masalah agama. Dia mengatakan, ISIS sebenarnya jeratan politik tingkat internasional atau dunia yang akhirnya melibatkan orang-orang Indonesia. Orang Indonesia sebetulnya tidak totalitas, karena ini kepentingan internasional yang luar biasa. Akhirnya, ini move-nya juga luar biasa.

”Untuk antisipasi kesana tidak jauh beda penanganannya seperti penanganan narkoba, lingkungan keluarga dan pemahaman agama. Pemahaman Agama ini sangat sensitif. Penangkal permasalahan ini harus intens komunikasi. Maka, sebelum terjadi sesuatu harus dimulai dengan pendataan statistik supaya reportnya tahu, apakah dia punya KTP dan paspornya apa. Kalau perlu dicatat atau difotocopy, kalau memang punya paspor. Jadi kita harus minta data-datanya, kalau tidak bisa melakukan sendiri dan kita laporkan ke RW dan desa atau seterusnya. Apalagi kalau ada kecurigaan,” ujar pria kelahiran Karang Anyar 07 Februari 1970 itu.

Tinggalkan Balasan