Setelah Ade, giliran Nurlatifah yang membacakan nota pembelaannya. Senada dengan suaminya, dirinya juga membantah semua tudingan JPU, termasuk tuntutan yang dibebankan padanya. ’’Investasi dan tabungan yang terkumpul telah sangat mencukupi kebutuhan saya. Jauh sebelum saya bergabung ke dunia politik. Itulah karenanya, dugaan saya memanfaatkan suami itu mengada-ada dan tanpa dasar yang bisa membuktikannya,” seru Nurlatifah.
Sedangkan pledoi dari tim kuasa hukum yang dikoordinatori Winarno Djati, menyebut, bahwa tidak ada tindak pidana pencucian uang, dikarenakan terdakwa tidak pernah melihat uang yang menjadi masalah itu. Atas dasar itu, tidak mungkin ada pencucian uang yang dilakukan oleh terdakwa. ’’Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang,” imbuh Winarno.
Dalam kesimpulan, kuasa hukum meminta agar majelis hakim melakukan proses hukum secara objektif, bukan karena lembaga yang menangani perkara ini. Pasalnya, di dunia tidak ada lembaga yang sepenuhnya bersih. Dan kalau korupsi sudah pasti bersalah, karena dalam kenyataannya, KPK tidak lepas dari kesalahan.
Usai pembacaan pledoi, majelis hakim bertanya apakah jaksa akan menanggapi hal itu, namun jaksa bersikukuh dengan tuntutan mereka. Dan hal sama juga dilakukan kuasa hukum yang tetap pada pembelaan. Maka itu, majelis hakim akan menjatuhkan putusan kepada suami-istri itu pada sidang selanjutnya, Rabu (15/4) mendatang.
Seperti diberitakan, Ade dan Nurlatifah dituntut delapan dan tujuh tahun penjara atas kasus pencucian uang dan pemerasan terhadap CEO PT Tatar Kertabumi sebesar Rp 5 miliar. Dalam dakwaan diketahui Ade memaksa CEO PT Tatar Kertabumi untuk memberikan uang sebesar USD 424.349. Uang itu untuk pembelian tanah dan bangunan serta membiayai berbagai kegiatan.
Selaku Bupati, dipaparkan jaksa, Ade berwenang menyetujui atau tidak permohonan pengurusan izin SPPR yang diajukan kepada Pemerintah Kabupaten Karawang. Hanya saja, terdakwa mempersulit proses perizinan itu. (vil/tam)