“Prinsipnya sederhana saja. Laser ditembakkan, dipantulkan oleh objek, lalu ditangkap lagi oleh alat dalam bentuk titik koordinat untuk dimodelkan,” papar Falih antusias.
Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Hasanuddin Z.A., M.Sc., Dr. Irwan Gumilar, ST., M.Si., dan Dr. Ir. Vera Sadarviana, MT., Falih mulai menggeluti penelitian TLS ini sejak Februari silam. “Banyak sekali tantangan yang cukup menghambat dalam penelitian ini, seperti perolehan perizinan untuk simulasi, serta kesulitan-kesulitan teknis yang berkaitan dengan TLS ini sendiri,” kata Falih. Namun terlepas dari hambatan-hambatan tersebut, Falih terus menekuni kinerja TLS untuk dimanfaatkan pada bidang forensik, khususnya kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Untuk mencoba membuat model 3D dari simulasi TKP kecelakaan lalu lintas yang sesungguhnya, Falih tidak tanggung-tanggung. Sebagai langkah awal, ia merencanakan jumlah pemindaian yang dilakukan. Menurut Falih, pemindaian dengan menembakkan pulsa laser idealnya dilakukan dari 4 arah penjuru mata angin untuk memperoleh model yang ideal. Ia juga merencanakan dengan matang penempatan lokasi kendaraan-kendaraan dalam simulasi kecelakaan lalu lintas yang hendak dibuatnya. Setelah itu, Falih mulai melakukan pemindaian dengan resolusi tinggi dan resolusi rendah untuk kemudian dibandingkan hasilnya.
Hasil simulasinya tak mengecewakan. Dengan TLS, Falih dapat menghasilkan suatu model 3D dari TKP kecelakaan lalu lintas dalam waktu hanya 56 menit saja untuk resolusi sedang, dan 189 menit untuk resolusi tinggi. Untuk wilayah Indonesia yang rata-rata area TKP kecelakaan lalu lintasnya relatif tidak luas, Falih berpendapat bahwa pemindaian resolusi menegah sudah cukup untuk memodelkan TKP kecelakaan dalam bentuk 3D.
Dalam melakukan pemindaian, hal yang cukup menantang bagi Falih adalah melakukan penghapusan derau, atau penghapusan objek-objek yang tidak relevan dengan kejadian kecelakaan. “Tantangan lainnya adalah objek yang gelap reflektansinya rendah, sehingga pantulan pulsa laser agak sulit untuk dipantulkan dan ditangkap kembali. Hal ini dikarenakan objek gelap bersifat menyerap cahaya,” ujar Falih.
Falih berharap, penggunaan TLS di Indonesia dapat dijadikan sebagai metode komplementer dalam investigasi kecelakaan lalu lintas. Menurutnya, data yang diperoleh dalam bentuk point clouds tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk pemodelan TKP dalam bentuk 3D saja. “Dengan pemanfaatan yang lebih intensif, point clouds juga dapat digunakan untuk mengestimasi sudut datang, kecepatan kendaraan, posisi antar objek, dan berbagai hal lainnya dari suatu kecelakaan,” kata Falih. Melalui kajian dan penelitian lebih mendalam, TLS dapat dimanfaatkan sebagai alat yang sangat membantu dalam investigasi kecelakaan lalu lintas di Indonesia. (tam/rls)