UU Cipta Kerja Perlu Meninggalkan Keberpihakan Terhadap Kaum Konglomerat

JAKARTA – Masyarakat menaruh perhatian besar terhadap keperpihakan pemerintah dalam implementasi UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Hal tersebut terlihat dari antusiasme publik memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait perizinan usaha, koperasi, dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sekretaris Umum Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MEK-PPM), Mukhaer Pakkana mengatakan, di RPP Cipta Kerja yang tengah dibahas tersebut, lebih menekankan pada pendampingan dan perlindungan aspek hukum kepada semua elemen masyarakat termasuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Dengan adanya perlindungan hukum, lanjut Mukhaer, maka keberadaan UU Cipta Kerja bukan hanya memiliki keberpihakan terhadap konglomerat saja akan tetapi juga memiliki keperpihakan terhadap ekonomi wong cilik atau UMKM.

“Dengan demikian rasa keadilan sosial ada dalam napas dan semangat UU Cipta Kerja,” kata Mukhaer Pakkana di Jakarta, dilansir dari jpnn.com, Jum’at (8/1).

Untuk mengimplementasikan perlindungan hukum bagi pelaku UMKM, lanjut Mukhaer, diperlukan advokasi yang konkret di antaranya pendampingan pelaku usaha, perizinan yang mudah, perkuatan permodalan, teknologi IT dan infrastruktur akses pasar bagi produk UKM.

“Kebijakan regulasi inilah yang selama ini ditunggu–tunggu oleh publik. Pelaku usaha atau UMKM akan sangat terbantu dan terlindungi jika ada pendampingan hukum bagi pelaku usaha, serta perizinan yang mudah. UU Cipta Kerja memberikan perlindungan dan akses usaha yang nyata,” terangnya. Selain perlindungan hukum, Mukhaer juga menyinggung tentang perizinan dan pendirian badan hukum usaha, di mana dalam RPP Cipta Kerja tak menyeragamkan semua kegiatan usaha berbasis badan hukum usaha perseroan terbatas (PT) atau lainnya yang harus mengikuti pola dan tatakelola manajemen modern.

Menurutnya,penting sekali dalam UU Ciptaker memasukkan ekspresi kearifan lokal dan semangat kebinekaan kebangsaan dalam membuat badan usaha, seperti yang terjadi di lembaga amal usaha ormas Islam Muhammadiyah, badan usaha nagari dan badan usaha desa.

“Dengan demikian keberadaan dari Cipta Kerja tetap menjaga nilai–nilai Keindonesiaan,”terangnya. UU Cipta Kerja terkait klaster perizinan usaha, pengelolaan keuangan, dan koperasi usaha kecil ini, MEK-PPM menekankan, keperpihakan dan pemanfaatan dari UU Cipta Kerja tersebut kepada masyarakat yang lemah tetap diprioritaskan. Bahkan, jika diperlukan ada pemberian insentif kepada pelaku usaha yang telah berhasil dan mampu memberikan kontribusi besar dalam pengembangan usaha. Dengan demikian keberadaan dari UU Cipta Kerja memiliki keadilan sosial kepada semua pihak.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan