Cendol Hu

Cobalah rasa-rasakan kalimat berikut ini: darah saya menyendol.

Lebih tepat mana dengan: darah saya mengental.

Atau: darah saya menggumpal.

Rasanya kata cendol atau menyendol lebih pas. Hanya saja cendolnya itu kecil-kecil. Tidak sebesar cendol dawet.

Apakah ada istilah khusus untuk cendol yang kecil-kecil?

Takutnya dibayangkan besarnya sebesar cendol dawet.

Yang jelas kata mengental kurang tepat. Kata menggumpal juga kurang pas.

Dan yang lebih jelas: saya mengalami itu.

Itulah yang diatasi oleh tim dokter di RS Premier Surabaya ini. Sejak saya tiba di sana.

Saya disuntik Lovenox. Tempat penyuntikannya di perut. Dua kali sehari.

Dokter menghentikan obat lama saya: Plavix. Yang sudah saya minum sejak tiga tahun lalu. Every next day. Itulah obat pengencer darah. Setelah saya terkena aorta dissection di Madinah dulu.

Untuk orang yang terkena Covid seperti saya obat itu kurang tepat lagi. Kurang kuat. Maka diganti Lovenox itu.

Robert Lai, ”saudara kandung” saya selama 25 tahun terakhir, menghubungi dokter saya di Singapura. Juga menghubungi dokter yang di Tianjin, Tiongkok.

Dokter Benjamin Chua, ahli pembuluh darah, membenarkan tindakan dokter RS Premier ini. “Mereka cerdas melakukan itu,” kata Ben yang kini punya klinik sendiri di Singapura.

Hasilnya?

Belum tahu.

Saat saya menulis naskah ini, perawat baru saja mengambil darah dari lengan kanan. Enam tabung. Antara lain untuk melihat perkembangan cendol saya itu.

Saya memang salah.

Saya ke luar kota hari itu: Kamis minggu lalu.

Rasanya saat itulah saya terpapar Covid-19.

Pagi itu saya olahraga dulu. Di halaman depan Graha Pena. Secara salah: pakai topi dan kaus lengan panjang. (Lain kali saya akan unjuk rasa: olahraga tanpa topi, tanpa baju, dan tanpa celana).

Lalu saya cepat-cepat berangkat ke Takeran, Magetan. Bersama istri dan Kang Sahidin. Sarapannya sambil melaju di jalan tol.

Tiba di Takeran, saya gandeng istri ke makam. Berdua saja.

Di situlah kiai saya, Gus Amik, dimakamkan. Akibat Covid-19. Sebulan lalu. Persis di sebelah makam ayah saya. Di dekat situ juga dimakamkan kakak Gus Amik. Yang juga meninggal karena Covid 12 hari kemudian.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan