Virus Minyak

SAYA terima kiriman foto langit Jakarta, kemarin. Ternyata warnanya biru. Seperti langit beneran.

Sudah lama saya tidak melihat langit Jakarta sebegitu aslinya. Tentu Anda sudah tahu mengapa: Covid-19. Kegiatan manusia menurun.

Polusi tiada lagi. Langit tersenyum begitu cerianya.

Tentu itu pemandangan yang kurang menyenangkan bagi Pertamina. Jualan BBM-nya jadinya menurun.

Padahal sekaranglah saatnya menggenjot penjualan. Mumpung marjin labanya amat-sangat-tinggi. Berkat harga minyak mentah yang merosot drastis.

Sedang harga jual BBM-nya tenang-tenang saja –tidak ada yang minta diturunkan.

Di Amerika harga BBM tinggal 1,6 dolar per galon. Itu sama dengan Rp 6.800 per liter. Dengan gaji buruh 10 dolar per jam, harga BBM di Amerika itu begitu murahnya.

Itu harga minggu lalu.

Tadi malam harga BBM di Michigan turun lagi. Tinggal 1,3 dolar per galon. Begitu murahnya.

Akibat demam Korona orang sampai lupa: berapa harga minyak mentah sekarang. Jangan-jangan masih dikira 50 dolar per barel.

Kini, di Amerika harga minyak mentah tinggal sekitar 20 dolar per barel. Bahkan minyak mentah Kanada tinggal 6 dolar per barel.

Seperti guyon.

Sampai ada yang berseloroh harga minyak sekarang ini lebih murah dari barang apa pun.

Waktu harga minyak mentah turun drastis menjadi 30 dolar per barel, 3 minggu lalu, hebohnya bukan main. Itu akibat perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia.

Saudi ingin produksi minyak dikurangi. Agar harga bisa naik. Waktu itu harganya masih 50 dolar per barel. Dianggap terlalu rendah.

Rusia tidak mau menurunkan produksi minyaknya: merasa tidak terikat dengan keputusan OPEC –organisasi negara pengekspor minyak.

Rusia memang tidak menjadi anggota OPEC.

Maka Saudi marah: membanting harga minyaknya. Tinggal 30 dolar per barel. Sekaligus menaikkan produksinya menjadi 12 juta barel per hari.

Naik 2 juta barel per hari dari biasanya.

Dan sekarang, harga itu turun lagi. Turun sendiri. Produksi minyak kan bertambah banyak. Sedang pemakaian BBM menurun drastis –di mana-mana.

Presiden Donald Trump memang sempat menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Tentu Trump menerima desakan dari pengusaha minyak di Amerika. Yang umumnya dari Partai Republik.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan