Survei, Mayoritas Publik Tak Mau Tunda Pilkada 2020

JAKARTA – Jelang pemilihan Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan 9 Desember mendatang, pro dan kontra akan hadirnya pemilihan ini menyeruak. Pasalnya angka Covid-19 di Indonesia masih tinggi.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas mengatakan, semuanya harus berbasis data. Bagaimana keinginan publik terkait Pilkada 2020 ini dan pihaknya sudah mensurvei.

“SMRC ssudah melakukan sejumlah survei nasional yang di antaranya mengungkap soal terkait Pilkada 2020. Ada tiga catatan dari temuan survei nasional. Pertama mayoritas publik nasional masih ingin Pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan ketimbang yang ingin menunda,” kata Sirojuddin dilansir dari jawapos.com, Sabtu (28/11).

Yang kedua menurut dia, memang ada kekhawatiran masyarakat Pilkada menjadi sumber Covid-19. Tapi masyarakat masih ingin berpartisipasi dalam pencoblosan 9 Desember mendatang.  Alasan ketiga, lanjut Sirojuddin adalah mayoritas warga diatas 70 persen mengetahui daerahnya akan melaksanakan pilkada. “Mereka mengatakan akan memiliih berpartisipasi meski tahu beresiko penularan,” kata Sirojuddin.

Menurut dia, dari tiga temuan tersebut ada pesan penting khususnya kepada penyelanggara, yakni semua proses harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. “Mulai dari proses kampanye, pemungutan suara, itu bisa dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan ketat,” ungkapnya.

Dia pun memandang, sejauh ini baik itu dari Satgas Covid-19, Pemda, KPU, maupun Bawaslu sudah cukup ketat menerapkan protokol kesehatan saat masa kampanye. Meski tak dipungkiri diawal masih ada banyak pelanggaran. “Makin ke sini, mereka semakin sadar dan hati-hati,” ungkapnya.

Dari hasil survei yang telah dilakukan pihaknya, juga menemukan masyarakat tak ingin kepala daerah dijabat Plt, sekitat 70 persen. Mereka ingin kepala daerah dipilih masyarakat.

“Jadi, ini alasan terkuat Pilkada 2020 tetap berjalan. Karena mereka ingin daerah hasil legitimasi langsung bukan Plt yang ditunjuk pemerintah,” katanya.

Karena itu, dia berpandangan tidak bijak jika mengubah aturan di saat terakhir seperti sekarang ini. Apalagi menunda. “Menurut saya, tidak bijak mengubah aturan pemilu di masa akhir. Untuk apa ditunda? Sangat tidak sensitif terhadap aspirasi masyarakat dan juga tidak sensitif dengan beban biaya peserta dan pemerintah untuk Pilkada,” pungkasnya. (bbs/tur)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan