Strategi Penanganan Covid-19 Gagal, Kasus Positif Sudah Tembus 200.000

JAKARTA – Berdasarkan data  covid19.go.id pada Selasa (8/9/20), kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai   200.035 orang, sebanyak 142.958 orang  dinyatakan sembuh dan 8.230 orang meninggal dunia.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengaku prihatin dengan kondisi yang memburuk ini.  Sebab, pemerintah gagal menahan laju pandemi akibat salah strategi.

Dia menuturkan, sejak awal pemerintah lebih memprioritaskan pemulihan ekonomi daripada menangani akar pandemi, yaitu sektor kesehatan.

’’Akibat kegagalan tersebut, imbas pandemi sudah kemana-mana dan sulit terkendali. Angka kasus makin tinggi, klaster penularan baru bermunculan, ekonomi makin terpuruk, rakyat bingung tidak tahu harus berbuat apa,’’kata Netty kepada Jabar Ekspres, (9/9).

Dia menyebutkan, saat ini sudah 59 negara sudah menutup akses bagi kedatangan WNI, Indonesia sudah menjadi negara yang ’ditakuti’.

Sebagaimana yang dilansir dari beberapa media online nasional, sejumlah negara tersebut di antaranya, Jerman, Swis, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Turki, menutup pintunya untuk warga negara Indonesia karena khawatir menjadi  transmiter  Covid-19.

Untuk itu, pemerintah harus segera mengambil sikap dan menata ulang format kebijakannya. Jangan  menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan.

’’Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Sebab pandemi Covid-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada  kebijakan yang berbasis kesehatan,’’ katanya.

Lebih jauh Netty memaparkan, “Saat ini  perkantoran, keluarga dan bahkan proses pilkada telah menjadi klaster penularan  Covid-19. Jika ini tidak ditangani secara serius dengan kebijakan yang tepat dan ketat, maka akan muncul klaster-klaster lainnya.

’’Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang paling  ditakuti dan kemudian diisolasi karena Covid-19,’’ tambahnya.

Terkait penghapusan kewajiban melakukan rapid test untuk pelaku  perjalanan oleh Kemenkes RI, menurut Netty, kebijakan yang berubah-ubah seperti itu membuat rakyat bingung.

“Jika  Rapid Test tidak lagi diwajibkan karena dianggap kurang akurat, lalu bagaimana cara mendeteksi bahwa pelaku perjalanan antar kota atau antar provinsi itu aman dan bebas dari Covid-19? Apakah sudahkah dipikirkan  cara lain? Jika dianggap cukup dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk kota, bagaimana dengan orang yang terinfeksi namun tidak ada gejala?” tanya Netty.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan