Stop Kampanye Hitam! Pengamat: Pelakunya Rendah Diri untuk Menangkan Pilkada

KARAWANG – Suhu politik Karawa­ng makin panas. Setelah ketiga pas­ang balonbup-wabup mendaftarkan diri ke KPU, gelombang kampanye hitam makin deras, terutama di grup-grup medsos. Saling serang antar kubu sangat terasa ketika merespon peristiwa politik yang merupakan tahapan-tahapan pilkada Karawang.

Ribuan akun medos anonim bah­kan sudah mulai melakukan seran­gan terhadap calon tertentu. Kemu­dia dibalas oleh akun-akun medsos lain sesuai dengan afiliasi politiknya masing-masing.

Bahkan tidak jarang tokoh politik Karawang terlibat debat kusir di med­sos gara-gara narasi kampanye hitam.

Menanggapi fenomena ini, pengamat komunikasi politik ­ Unsika Dr Eka Yusuf mensinyalir ketiga kubu memang sudah menyiapkan serangan-serangan politik kepada lawan, dengan tu­juan melemahkan lawan.­

Apakah bisa efektif? Eka menjelaskan, harusnya para politisi menghentikan cara-cara itu. Di sampaikan tidak efektif menaikkan elektabil­itas paslon yang didukung, juga merupakan cerminan dari rasa rendah diri untuk memenagkan pilkada.

“Kampanye hitam adalah cerminan dari rasa rendah diri untuk memenangkan persaingan. Orang yang menyebarkan fitnah un­tuk menjatuhkan lawan di Pilkada adalah orang yag kehabisan argumentasi,” jelasbnya.

Kampanye hitam yang di­lakukan politisi sama, tam­bah Eka, saja melecehkan akal sehat dan sangat meru­sak jalannya demokrasi.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo menyebut­kan sejumlah modus kam­panye hitam atau black cam­paign. Kampanye hitam ini termasuk kampanye politik yang mengandung ujaran kebencian serta politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

“Ada beberapa modus politisasi SARA atau kami sebut modus terkait dengan black campaign,” ujar Ratna dalam diskusi virtual ten­tang Pilkada Tanpa Ujaran Kebencian, baru-baru ini.

Pertama, pidato politik yang cenderung menga­rah kepada politik identitas yang bermuara pada SARA.

Kedua, ceramah-ceramah provokatif di tempat iba­dah atau acara keagamaan. Menurut Ratna, untuk mencegah modus ini di Pilkada 2020, Bawaslu membutuhkan pendekatan-pendekatan yang struktural kepada tokoh-tokoh agama.

Keempat, penyebaran uja­ran kebencian oleh akun-akun anonim di media so­sial atau akun tidak resmi yang tidak didaftarkan calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan