Singa Putih

Nama pondok pesantren ini sudah lama saya dengar: Pondok Pesantren Singa Putih. Dzikir yang diamalkan di situ adalah tarekat Munfaridin. Tiap Jumat malam dilakukan istighotsah sampai larut malam. Dan tiap Jumat Pon (setiap 35 hari sekali) istighotsah-nya semalam suntuk.

Kuat?

Kiai itu sendiri sangat kuat. Para santri di situ menyebut sang kiai tidak pernah tidur. “Beliau haramkan tidur. Untuk beliau sendiri. Sepanjang tahun. Sepanjang hidup,” ujar M. Sholeh, wakil kiai di situ.

Sholeh adalah pengacara terkenal di Surabaya. Yang kalau menggugat pemerintah hampir selalu menang. Yang pernah dihukum 2 tahun di akhir Orde Baru. Ia dianggap melakukan makar pada pemerintahan Pak Harto. Sholeh adalah tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang pernah dianggap komunis. Padahal Sholeh alumnus pondok Tebuireng Jombang, milik Gus Dur itu.

Sholeh pernah naik haji bersama sang kiai. Itu juga yang ia lihat. Tidak pernah tidur. “Ketika kita-kita tidur beliau tetap duduk, wiridan,” ujar Sholeh. Wiridan adalah mengucapkan kata-kata memuji Tuhan secara lirih.

Kiai Saifullah ini lahir di situ. Di desa Sentong itu. Ayahnya seorang petani –seperti umumnya warga desa Sentong. Di desa itu pula ia masuk SD. Sampai tamat. Lalu hilang.

Ia menghilang. Ia mengelana dari satu pondok ke pesantren lain. Dari satu tempat keramat ke makam berikutnya. Ia jalan kaki ke makam-makam wali songo. Tidak hanya di Jawa. Juga di seluruh Sumatera. Dari Lampung, Padang sampai ke Aceh.

Sholeh mengenalnya untuk kali pertama saat jadi santri di Tebuireng. “Ia sering ngebleng: tidak keluar kamar tiga hari tiga malam. Hanya duduk. Tidak makan tidak tidur,” ujar Sholeh.

Lalu menghilang lagi. Di pengembaraannya itulah ia menemukan perlambang singa putih. Yang mulutnya lagi mangap. Taringnya menyeringai. Itulah yang kemudian menjadi nama pondok pesantren di Sentong ini. Juga menjadi lambangnya. Dan judul lagu hymnenya: hymne yang diciptakan sendiri oleh sang kiai.

Di pengembaraannya itu pula ia mendapat pertanda-pertanda: ia harus mendirikan pondok pesantren. Harus seperti zaman wali: santri tidak usah membayar. Maka ia dirikan pondok Singa Putih itu. Santri harus mukim. Ia sediakan tempat. Ia sediakan makan. Mula-mula di rumahnya, ups, rumah ayahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan