KPK Tak Percaya Diri

JAKARTA – Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) resmi mensupervisi kasus dugaan tindak pidana ko­rupsi Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari yang ditangani Polri serta Kejaksaan Agung. Namun, supervisi saja dianggap kurang cukup untuk KPK. Lembaga antirasuah di­minta mengambil alih kasus tersebut.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman memandang KPK tak per­caya diri terlibat dalam pen­anganan perkara tersebut. Supervisi itu, kata Boyamin, ibarat permohonan izin dari KPK kepada Polri dan Kejaksaan Agung agar bisa melibatkan diri dalam pen­anganan kasus Joko Tjandra dan Pinangki.

“Saya kira KPK dalam po­sisi sekarang ini kan seperti tidak percaya diri dan den­gan karena tidak percaya diri itu kemudian menjadi langkahnya ragu-ragu. Sep­erti dalam posisi ini permisi dulu lah, kira-kira kan gitu ya,” ujar Boyamin kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (6/9).

Kendati demikian, Boy­amin mengapresiasi bahwa KPK kini sudah tak lagi menjadi “penonton” pen­anganan perkara Joko Tjan­dra-Pinangki. Ia berharap, supervisi dapat menjadi permulaan bagi KPK un­tuk mengambil alih kasus tersebut.

“Ini setidaknya KPK bukan hanya jadi penonton, mulai melibatkan diri, dan bahkan itu juga langkah agak benar dengan supervisi di dua tempat Kejaksaan Agung dan kepolisian. Sehingga nanti bisa disinkronkan,” kata Boyamin.

Pengambilalihan perkara yang ditangani aparat pen­egak hukum lain oleh KPK diatur dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019. Ke­tentuan itu menjelaskan bahwa pengambilaihan perkara di tingkat penyidi­kan dan atau penuntutan dilakukan dengan alasan; pertama, adanya laporan masyarakat mengenai tin­dak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti. Kedua, pengambilalihan dilaku­kan bila proses penanga­nan tindak pidana korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung­jawabkan.

Ketiga yakni bila penanga­nan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana ko­rupsi yang sesungguhnya. Keempat, bila penanga­nan tindak pidana korupsi mengandung unsur tindak pidana korupsi.

Kelima, pengambilalihan dilakukan bila ada ham­batan penanganan tindak pidana korupsi karena cam­pur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudi­katif, atau legislatif serta keenam, yakni bila ada keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung­jawabakan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan