Khalifah Hasan Bin Ali Bin Abu Thalib Penjaga Terakhir Politik Moral

Oleh Dr Ade Priangani MSi
 Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNPAS dan Wakil Ketua Bidang Pendidikan Paguyuban Pasundan Cabang Kota Bandung

Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, pada 17 Mei tahun 660, Sayyidina Hasan dibaiat menjadi khalifah kelima. Menggantikan Sayyidina Ali yang  meninggal dunia karena dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij. Saat Sayyidina Ali menunaikan salat Subuh.

Qais bin Sa’ad, panglima perang pasukan Ali bin Abi Thalib, adalah orang pertama yang memba’iat Hasan sebagai Khalifah. Kemudian diikuti oleh penduduk Kufah. Begitulah tren saat itu. Khalifah dibai’at secara personal dan kemudian diikuti oleh bai’at berjamaah di masjid. Tidak ada pemilihan umum. Tidak ada pula pembatasan periode jabatan. Itu sebabnya dalam sejarah khilafah intrik-intrik kekuasaan selalu terjadi.

 

[ihc-hide-content ihc_mb_type=”show” ihc_mb_who=”3,4″ ihc_mb_template=”1″ ]

Pengangkatan Hasan sebagai khalifah tidak disenangi Muawiyah, karena Muawiyah merasa lebih pantas menjadi khalifah. Baik dilihat dari usia maupun pengalaman. Sehingga kemudian Muawiyah berkebaratan untuk bai’at kepada Hasan. Sama seperti keengganan juga untuk bai’at kepada Sayyidina Ali, yang menyebabkan timbulnya perang Shiffin.

Meskipun mendapat tekanan dari Muawiyah yang berkedudukan di Damaskus, Syam, Hasan justru secara persuasif menulis surat kepada Muawiyah. Ia memilih tidak menyerbu kekuatan oposisi. ’’Janganlah engkau terus-menerus terbenam di dalam kebatilan dan kesesatan. Bergabunglah dengan orang-orang yang telah menyatakan bai’at kepadaku. Sebenarnya engkau telah mengetahui, bahwa aku lebih berhak menempati kedudukan sebagai pemimpin umat Islam. Lindungilah dirimu dari siksa Allah dan tinggalkanlah perbuatan durhaka. Hentikanlah pertumpahan darah, sudah cukup banyak darah mengalir yang harus kau pikul tanggungjawabnya di akhirat kelak. Nyatakanlah kesetiaanmu kepadaku dan janganlah engkau menuntut sesuatu yang bukan hakmu, demi kerukunan dan persatuan umat Islam,” tulis Hasan seperti dikutip Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978).

Surat tersebut jelas menggambarkan Hasan sebagai orang yang lebih suka menghindari pertikaian dan pertumpahan darah. Ia juga menekankan pentingnya kerukunan dan persatuan umat Islam.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan