Diprediksi Ada 31 Daerah yang Hanya Memiliki Calon Tunggal, Pengamat: Ini Bukti Kegagalan Demokrasi

JAKARTA – Fenomena munculnya calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2020 dianggap sebagai kegagalan berdemokrasi. Adanya satu calon melawan kotak kosong, dinilai tidak memberikan pilihan kepada rakyat. Pemilih hanya dijejali satu kandidat.

Pengamat Politik Nasional Emrus Sihombing mengatakan, adanya satu kandidat dalam perhelatan pilkada, bisa dikatakan kegagalan partai merekrut kader dan calon pemimpin. Bahkan, pilkada hanya dimaknai soal kalah dan menang. Bukan pendidikan politik kepada rakyat.

“Saya melihat dari dua aspek. Partai yang tidak memiliki kandidat, berarti tidak bisa melahirkan pemimpin. Apa kerja partai selama ini. Nah menurut saya ini menjadi suatu hal yang tidak baik. Terlalu berorientasi kalah menang. Mereka gagal melahirkan pemimpin,” tegas Emrus di Jakarta, Kamis (6/8).

Aspek lain, calon tunggal harusnya menyatakan diri menantang. Dia harus mendorong orang bersaing melawan dirinya. Pilkada bukan soal kalah menang. “Kotak kosong merusak demokrasi. Karena memilih benda mati. Masa, tidak punya program dan tidak punya gagasan bisa dipilih. Menurut saya, ini jadi tanggung jawab parpol yang tidak mampu melahirkan pemimpin,” tambah akademisi Universitas Pelita Harapan tersebut.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memprediksi akan ada calon tunggal di 31 daerah pada Pilkada 9 Desember 2020 mendatang.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyampaikan jumlah tersebut sangat mungkin berubah. Sebab proses pencalonan masih berlangsung hingga ditutup pada Rabu (23/9). “Dari data yang kami olah di Perludem, ada potensi calon tunggal di 31 daerah,” ujar Titi.

Ia menyebut beberapa daerah yang diprediksi calon tunggal itu di antaranya adalah Kota Semarang, Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Banyuwangi, Blitar, Kabupaten Semarang, Kediri, Botolali, Klaten, Gowa, Sopeng, Gunung Sitoli, Balikpapan, Buru Selatan, dan Pematang Siantar.

Titi menjelaskan calon tunggal dan dinasti politik memang tak dilarang dalam konstitusi di Indonesia. Namun praktik ini perlu diimbangi agar demokrasi tetap berjalan secara adil bagi setiap warga negara.

“Bukan hanya kedaulatan rakyat, tapi kesetaraan politik. Bukan sekadar membolehkan orang untuk maju dan berkompetisi. Tetapi memastikan kompetisinya berjalan adil dan setara,” tuturnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan