Biaya Politik Mahal Picu Korupsi

BANDUNG – Sederet kepala daerah di Jawa Barat (Jabar) kembali masuk dalam pusaran kasus korupsi. Yang terbaru, ada nama Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (27/11) lalu.

Untuk diketahui, sebelumnya kepala daerah yang terseret oleh KPK di antaranya Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman yang masih ditahan KPK, Bupati Bandung Barat, Abubakar.

Menanggapi maraknya tindak korupsi di Jabar, Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Prof Asep Warlan Yusuf menyebutkan, ada tiga faktor yang membuat pejabat publik tersandung korupsi.

Menurut Prof Asep, tiga faktor yang menyebabkan kepala daerah berbuat yang hal yang sama disebabkan karena beban hutang politik, kurangnya pengawasan dan buruknya moral. Sehingga tersandung di lubang yang sama.

“Biaya politik itu pastinya mahal. Sehingga mau tidak mau harus mencari jalan keluar untuk menutupi modal yang dulu dipakai,” kata Prof Asep saat dihubungi Jabar Ekspres, Minggu (29/11).

“Entah itu pinjaman, hubungan dengan yang lain, pokoknya dia punya komitmen untuk mengembalikan dana saat dia menjabat. Karena tidak bisa hilang beban itu untuk mengembalikan uang itu,” tambahnya.

Faktor yang yang kedua, kata Prof Asep, pengawasan di internal parpol dan internal pemerintahan. Sehingga tak membuat gentar untuk melakukan penyelewengan wewenang.

“Biasanya kepala daerah itu kuatnya di parpol. Mungkin juga internal pemerintahan, seperti inspektorat, BPK, BPKP memang tidak cukup kuat untuk menyakinkan kepala daerah untuk tidak dampak buruk,” katanya.

Sehingga, ujar dia, pengawasan internal parpol maupun internal baik BPK maupun BPKP tidak memberikan efek untuk membuat takut mereka yang melakukan korupsi.

Faktor ketiga, sambung dia moralnya buruk. Memang tidak punya beban untuk mengembalikan utang, pengawasan memang bagus, tapi moralnya buruk. Maka tetaplah melakukan korupsi.

“Kenapa moralnya ancur? Karena gaya hidup yang memang membawa mereka berbuat seperti itu. Entah keluarga, entah lingkungan. Pokoknya gaya hidup mereka sudah tidak biasa lagi seperti mereka belum menjadi pejabat,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan