Bawaslu Jabar Ultimatum Calon Petahana

BANDUNG – Calon petahana yang maju dalam Pilkada Serentak 2020 menjadi perhatian Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat (Jabar). Sebab, rawan menggunakan fasilitas negara sebagai alat untuk kampanye.

Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi memberikan peringatan kepada seluruh pemerintah daerah yang melaksanakan Pilkada untuk menghentikan iklan layanan masyarakat.

Sebab, kata dia, iklan layanan masyarakat merupakan fasilitas negara yang tidak boleh digunakan untuk kampanye.

“Kita juga mengawasi larangan bagi seluruh pihak terutama petahana untuk tidak menggunakan fasilitas negara. Karena, kan bupati/wali kota yang masuk kembali dalam pelaksanaan pilkada,” tegas Zaki saat dihubungi, Senin (28/9).

Menurutnya, seluruh fasilitas negara yang melekat pada calon di Pilkada itu tidak boleh dipergunakan. Oleh karena itu, lanjut dia, Bawaslu mengimbau pemerintah daerah untuk tidak menayangkan iklan layanan masyarakat dengan menampilkan bupati atau kepala daerah yang sedang cuti.

 

“Jadi iklan layanan masyarakat berupa seruan Covid-19, atau bantuan sosial atau apapun yang lebelnya melekat dengan jabatan sebagai kepala daerah dalam posisi saat ini cuti, maka Bawaslu minta agar seluruh layanan iklan masyarakat itu dihentikan,” katanya.

Tak hanya itu, Bawaslu pun mengancam akan menghentikan seluruh aktivitas kampanye calon di Pilkada Serentak 2020 jika melanggar regulasi peraturan KPU terkait petunjuk teknis PKPU Nomor 11 tentang kampanye dan PKPU Nomor 13.

Lebih jauh dia menjelaskan, dalam PKPU 13 pasal 88C disebutkan bahwa tidak ada lagi rapat umum, melainkan hanya bentuk-bentuk pertemuan terbatas. Selain itu, dalam PKPU tersebut juga dilarang melakukan kegiatan seperti konser musik, festival budaya dan seni.

“Kita juga ada surat edaran bahwa dari KPU RI tentang mengatur pengawasan ditahap kampanye pilkada ini. Dalam kampanye itu beberapa aspek. Semua peserta hanya diperbolehkan kampanye sesuai regulasi,” paparnya.

Zaki menambahkan, terkait pertemuan tatap muka ini lebih diprioritaskan berupa daring. Jika tetap memaksakan, lanjut Zaki, tatap muka dengan jumlah maksimal 50 orang dengan memperhatikan  physical distancing dan sosial distancing minimal 1 meter.

“Saya pikir kalau memang itu terjadi pelanggaran di lapangan. Misalkan tatap muka melebihi jumlah yang ditentukan dan terjadi kerumunan yang tidak memperhatikan aspek protokol pencegahan Covid-19 maka kita akan menindak,” jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan